Rabu, 26 Oktober 2011

Ingin Menjadi ... Masa Depanmu


"Apa yang kau tunggu?"
Kamu diam. Tatapan teduh itu terus kamu hadiahkan untukku
Memandangku dengan penuh.. ah, aku belum ingin menduga-duga

"Felan, Sampai kapan kamu mau berdiri disitu dan memandangku seperti itu?"
Aku mulai gelisah, terganggu dengan tatapanmu yang semakin jauh menelanjangiku

Kamu masih diam, berdiri terpaku di hadapanku

"Felan, aku pergi ya.. Aku ngga tau kamu mau apa dan bagaimana"
Aku melangkah mundur. satu, dua, kemudian membalikkan tubuhku
Hatiku merutuk

Sentuhan hangat menggenggam lenganku, menahan kepergianku
Aku kembali menoleh, menatap lenganku, tertaut dengan jemarimu disana
Jemarimu yang lain lembut beradu dengan daguku
Ingin waktu membeku sesaat saja, aku suka suasana manis seperti ini

"Jangan pergi" akhirnya suara lembutmu memecah keheningan

Aku kini diam, sambil coba membaca makna dari guratan garis-garis di wajahmu

Ah, terlalu rumit untuk dimaknai
"Kamu mau apa?" langsung saja kujernihkan impian muluk yang seketika terlintas di benakku, ingin kuhapus kembali, tak ingin berimaji terlalu tinggi, takut terjatuh nanti

"Franistya" Kamu mengeja namaku dengan sangat tepat. Tak banyak orang yang mampu melakukannya dengan benar

"Bolehkah aku.. Menjadi pemeran utama Pria dalam cerita masa depanmu?"

Satu detik saja, jantungku seketika terhenti, beruntung detakannya bisa kembali, meski masih tak beraturan
"Boleh aku mendapat pertanyaan yang lebih mudah untuk kucerna?"

Raut wajahmu berubah. Ujung-ujung bibirmu tertarik ke arah berlawanan
Lenganmu membelai rambutku lembut, tertawa lagi
"Aku mencintai ketulusanmu. Terima kasih karena sudah mau menunggu, cerita kita yang sempat tertunda sembilan tahun lalu itu, akan mulai kubangun kembali pondasinya. Pelan-pelan saja ya, aku tak ingin kerajaannya kembali runtuh karena tergesa-gesa membangunnya. Aku percaya kamu akan tetap setia" senyuman indah mengakhiri untaian kata yang terdengar bagai sajak terindah yang pernah kunikmati

Kamu menatapku lekat-lekat
Jemari kita masih bertautan
semakin erat kau menggenggamnya
Kehangatannya kembali membuatku tenang

Untaian kata-katamu terlalu takut kubayangkan kenyataannya
Masih terlalu sulit dijabarkan

Masih belum berani menduga-duga
Namun kamu kembali bersuara, kalimat terakhir untuk pertemuan hari ini

"Franistya, aku ingin menjadi masa depanmu..."

Aku tersenyum, hanya mampu mengucap satu kalimat
"Terima kasih. Wujudkanlah apa yang kau ingini, Aku menunggu.."

Layar kehidupan turun perlahan menutupi kami.
Ia berhasil menghilangkan gambaran buruk tentang masa lalu
Tirainya panjang, indah, menggelayut manja di bawah langit yang bersemburat jingga

Aku dan kamu berdiri, saling berhadapan dengan jemari yang tak berhenti bertaut

Kami akan memulai cerita itu, kembali
Perlahan namun didasari oleh keyakinan yang pasti
Bukan lagi sebuah elegi

Franistya, yang selalu menuggumu lekas merampungkan kerajaan kita :)

Selasa, 25 Oktober 2011

I Love You~

You taught me everything
And everything you’ve given me
I always keep it inside
You’re the driving force in my life, yeah
There isn’t anything
Or anyone I can be
And it just wouldn’t feel right
If I didn’t have you by my side

You were there for me to love and care for me
When skies were grey
Whenever I was down
You were always there to comfort me
And no one else can be what you have been to me
You’ll always be you always will be the girl
In my life for all times

Mama, mama you know I love you
Oh you know I love you
Mama, mama you’re the queen of my heart
Your love is like
Tears from the stars
Mama, I just want you to know
Lovin’ you is like food to my soul

You’re always there for me
Have always been around for me even when I was bad
You showed me right from my wrong
Yes you did
And you took up for me
When everyone was downin’ me
You always did understand
You gave me strength to go on
There was so many times
Looking back when I was so afraid
And then you come to me
And say to me I can face anything
And no one else can do
What you have done for me
You’ll always be
You will always be the girl in my life


Never gonna go a day without you
Fill's me up just thinking about you
I'll never gonna go a day
Without you Mama... :')


Love You Mama :*

*Boys II Men - A Song for Mama*

Percayalah

Seandainya aku dapat melukiskan
isi hatiku untukmu
seandainya kau pun harus tahu
lelah hatiku bila kau jauh

namun ku pendam rasa

ku hanya ingin kau bahagia
jalani yang kau pilih
jangan risaukan aku

percayalah kasih
cinta tak harus memiliki
walau kau dengannya
namun ku yakin hatimu untukku
percayalah kasih
cinta tak harus memiliki
walau kau coba lupakan aku
tapi ku kan slalu ada untukmu

seharusnya kau pun menyadari

resah hatiku bila kau dengannya
seharusnya aku pun tak berharap
miliki dirimu seutuhnya

namun ku pendam rasa

ku hanya ingin kau bahagia
jalani yang kau pilih
jangan risaukan aku :)

Percayalah - Ecoutez

Senin, 24 Oktober 2011

KEINDAHAN BAGI JIWA BAIK YANG CINTANYA DINISTAI

Mario Teguh Super Note


Bagimu, jiwa baik yang cintanya dinistai, 

langit ini runtuh, bumi ini gelap, laut mendidih, udara serasa pekat berjelaga, dan air serasa pasir, …

tapi sesungguhnya engkau terluka bukanlah oleh rasa kehilangan orang yang kau cintai; tapi karena rasa terhina, terbuang, tersia-siakan, dan dirampoknya rasa berhak untuk hidup dengan baik.

Pengkhianatan cinta tidak mencabik orang itu darimu, tapi merusak rasa hormat dirimu.

Engkau dibuatnya merasa tak berguna, tak bernilai, tak pantas dihargai, dan tak dipertimbangkan dalam mengalihkan perhatiannya kepada orang lain yang belum tentu sebaik dirimu.

Engkau dibuat bertanya-tanya dalam kesendirianmu mengenai apa yang memantaskanmu bagi perlakuan senista ini.

Memang ...,

Pengkhianatan cinta adalah penghinaan terkejam kepada rasa hormatmu kepada dirimu sendiri.

Itu yang menjadikanmu geram dan ingin melihatnya meregang terpanggang api neraka, dan terlantar antara pingsan dan mati di belantara penuh duri dan racun .

Ooh … betapa dendam itu mentenagai malam-malam panjang yang berselang-seling antara tangis dan rencana pembalasan dendam.

Tapi …, karena kebaikan jiwamu - engkau tahu, engkau tak mungkin berlaku kejam bahkan kepada orang yang mengejamimu, … alih-alih engkau melunglai lemah dalam keinginan untuk lari dan menghilang dari kesadaranmu, agar engkau lupa betapa rendahnya engkau diperlakukan.

……..

Adikku, yang hatinya baik, yang berhak bagi setulus-tulusnya cinta dari belahan jiwamu yang sejati, dengarlah ini ya?

Saat di mana engkau merasa kehilangan dirimu adalah saat yang paling tepat untuk membangun dirimu yang baru, yang lebih damai karena kekuatannya, dan yang lebih kuat karena keikhlasannya.

Engkau yang kehilangan dirimu, harus bersyukur, karena engkau bisa membangun dirimu yang baru, tanpa direpoti oleh sisa-sisa sikap dan kebiasaan buruk pada dirimu yang lama.

Ini adalah saat di mana engkau harus mendekatkan dirimu kepada Tuhan, kepada orang tua dan mereka yang nasehatnya telah kau abaikan, dan kepada diri sejatimu yang telah sesungguhnya memberitahumu bahwa engkau akan terluka.

Sekarang … tenangkanlah dirimu, damaikanlah hatimu, lapangkanlah nafasmu … diamlah sebentar … diamlah ... sampai engkau mendengar kesunyian di dalam hatimu …

Hmm … mudah-mudahan sekarang benderang bagimu bahwa sesungguhnya luka hatimu karena pembuangan oleh orang yang tak tahu diri itu, adalah sesungguhnya cara Tuhan untuk mendekatkan dirimu kepada dirimu sendiri.

Pengkhianatan itu indah - bagimu yang mengerti, bahwa engkau sedang dipisahkan dari orang yang akan hanya lebih melukaimu di masa depan.

Sekarang, dalam nalarmu yang lebih mengerti, tetapkanlah berapa banyak waktu yang masih kau butuhkan untuk bersedih dan berlemah-lemah dalam acara mengasihani dirimu sendiri yang sesungguhnya sangat gengsi dan benci dikasihani oleh orang lain.

Setelah itu, tetapkanlah waktu bagi dirimu yang baru itu untuk melatih cara senyum yang baru, yang lebih segar, yang lebih tulus, dan yang … ooh … berpendar dengan aroma cinta dari hatimu yang sekarang bersih dan lebih damai.

Sekarang, latihlah dirimu untuk memalingkan wajah dan menempelkan pandangan matamu yang anggun ke horizon di kejauhan sana … dalam sebuah ayunan gerak menoleh yang lamban dan elegan.

Sekarang, latihlah otot-otot lembut di wajahmu untuk tersenyum semanis mungkin, sepenyayang mungkin, dengan rona wajah yang penuh kasih, … heninglah sejenak, hanya beberapa detik sebelum bibirmu yang bersungging senyum itu mengeluarkan getar suara yang semerdu-merdunya dari beranda indah di lehermu yang kini terbebas dari ketegangannya.

Kedipkanlah matamu dengan gerakan api lilin yang meliuk manja terhadap belaian semilir angin senja, yang menutup lambat seperti engkau akan tertidur, tapi yang kemudian terbuka lagi dengan kerling mencling yang memanah hati yang tak berpertahanan.

He he he …

Yah … begitu, … tersenyumlah, tergelaklah … ooh adikku, engkau tak tahu betapa aku berbahagia dan haru dalam syukur - melihat wajahmu merekah dengan senyum yang sesungguhnya sesuci hari kelahiranmu.

Sekarang, dalam senyum dan penghormatan yang tulus kepada keindahan dari penciptaanmu di dalam kehidupan ini, tegakkanlah jiwamu dan tegapkanlah badanmu untuk menjadi pribadi yang baru, yang damai karena kekuatannya, dan yang kuat karena keikhlasannya.

Adikku … dengarlah bisikku ini …

Engkau jiwa yang baik.

Berbahagialah.

Mario Teguh - Loving you all as always

Tanpa Cahaya


Apa makna cahaya bagi kalian?
Kosong, tanpa makna
Cahaya hanya untaian huruf yang sering kamu dengar tanpa pernah yakini bagaimana wujud sesungguhnya

Namun kaki-kakimu tak pernah lelah melangkah
Meski kamu tak pernah tahu kemana arahnya
Kamu hanya yakin, di depan sana masih ada jalan
Untukmu melanjutkan kehidupan

Tak banyak yang menyukai kegelapan
Namun saat kau tidak diberi pilihan lain selain hidup dalam satu warna, kamu tak jua berhenti bersyukur
Allah mengasihi kami dengan menganugerahkan kepada kami kehidupan, udara, dan cinta
Kamu bertemu dengan belahan jiwamu, yang serupa
juga tak mampu memaknai cahaya

Namun sesungguhnya cahaya itu ada di dalam hatimu
Menerangi langkah-langkah kecilmu
Menuntun ke arah apa-apa yang baik, seperti yang selalu kau mohonkan kepada Allah di tiap detik hidupmu

Kehidupan tak sejahat dan seburuk yang saya kira
Masih tercipta senyum-senyum kebahagiaan dari kalian, yang bahkan tak mampu menyaksikan betapa banyak ciptaan Allah yang bisa dinikmati melalui pandangan mata
Saya yang sesungguhnya diberi kesempurnaan nikmat badani, seringkali menistainya
Tak mampu bersyukur pada nikmat yang bahkan saya tak akan pernah mampu menghitungnya

Terima kasih atas pelajaran yang kau goreskan pagi ini

Dalam hidup tanpa cahaya, kalian mampu menyinari jalan kalian sendiri
Tetap tersenyum menyambut pagi disirami sinar hangat mentari
Berjalan tegap meski tak selancar kami,
Namun kalian tak pernah lelah

Ada nyawa baru yang harus kalian jaga,
Anugerah Allah yang Maha Kuasa,
Allah percaya kalian mampu menjaga amanah itu
Semoga sang malaikat kecil bisa tumbuh sehat, sempurna dan memiliki hati semulia kalian,

Sekali lagi, terima kasih untuk pelajaran hidup hari ini :)

Bersyukurlah, keterbatasan fisik bukan menjadi penghalang untuk kau tidak mensyukuri nikmat kehidupan yang luar biasa ini.
Berdiri, tersenyumlah
Allah ada di dalam hatimu
Menyinarimu dengan cinta kasihnya
Dan tidak akan pernah meninggalkanmu
Gali hatimu lebih dalam, maka kau akan temukan makna cinta yang hakiki pada Sang Illahi :)

Belajar makna hidup,
terinspirasi dari pasangan suami istri  tuna netra dengan seorang bayi mungil di pelukan sang bunda,
tetap tersenyum dalam kegelapan yang mereka rasakan :)

Jumat, 21 Oktober 2011

Pada sebatang Pohon


Kamu tergugu di pelataran pertokoan, bahumu bergerak naik turun, wajahmu kau sembunyikan dibalik lipatan lengan yang mewadahi air matamu.
Sudah 60 menit kau masih enggan beranjak dari tempatmu, tangismu pun tak kunjung usai.

Gemuruh terdengar dari lapisan langit di atas sana, awan yang berarak di tengah malam itu semakin membawa nuansa keabuan dalam hatimu.

Jika bisa meminta, aku yakin kau ingin sekali berlari dari kegelapan yang melingkupimu
Berlari dari perihnya kenyataan yang menyelimutimu

Tangisanmu bukan berakar dari jiwa yang tersakiti, bukan pula karena kehilangan kekasih atau sekedar teman bersenda gurau
Tangisanmu lebih pilu dari itu, tampak tergambar jelas berasal dari lubuk hatimu
Kepedihan teramat dalam tergambar disana,
di atas wajah kusam yang kini menatap kosong ke gelapnya malam.
Sisa air mata masih belum sempurna terhapus dari wajahmu.
Terlalu lemah untuk berdiri, kecemasan mendominasi guratan wajahmu.

Kaki kecil berdebu tanpa alas kaki itu terus saja kau pandangi, entah apa yang kamu cari disana.
Kesedihan apa yang mampu membuatmu begitu pilu?

Jika mampu, aku ingin merengkuhmu, menghadiahi sebuah pelukan hangat layaknya manusia,
namun batangku terlalu kokoh untuk bisa membuatmu nyaman berada di pelukanku,
aku hanya memiliki helai-helai yang rimbun untuk sesekali menjagamu dari terik mentari..

Langit kembali bergemuruh, sebentar lagi hujan.
Pulanglah, Ibumu pasti mencemaskanmu..

Perlahan kau akhirnya bangkit juga, terseok-seok, limbung menata langkahmu sendiri, menghampiriku.
Bola mata basahmu nanar menatapku lekat.. Ah, bola matamu indah.. aku suka
"Aku belum bisa pulang, belum mampu membawa sebungkus nasi untuk Ibu"
kemudian kamu duduk bersimpuh dan melanjutkan tangismu, tampak tak mampu lagi berdiri karena aku tahu benar, sudah dua hari ini tak ada sesuap nasi pun yang masuk ke mulutmu..
Lambungmu pasti perih, seperih isak yang akan terus menemani malam kita kini...

Bahkan kamu pun tak mampu lagi mengadu, selain padaku.
Terlalu perih untuk anak laki-laki seusiamu,
belum pantas menanggung beban itu sendirian,
kamu butuh seseorang, manusia, bukan aku
kamu layak mendapat kebahagiaan, selayaknya teman-teman seusiamu

Semoga malam ini, helaianku dapat sedikit menghangatkanmu,
dan esok kehidupan akan menjadi lebih baik..
Selamat malam pussy :)

Heal Your Heart! #1


Posting saya kali ini akan membahas bagaimana cara untuk memperbaiki diri kita. Setelah melakukan diskusi panjang dari berbagai sumber, pagi ini Saya membaca buku tentang bagaimana merubah diri menjadi lebih baik. Dan berbagai sumber serta buku ini mengajarkan saya satu hal, bahwa perubahan berawal dari hati kita masing-masing. Layaknya tajuk Blog saya yakni "Lukisan Hati", kini Saya akan membagikan kepada Anda bagaimana cara memulihkan, kemudian menjaga hati agar tetap bersih sehingga mampu melukiskan lukisan yang indah, selamat membaca! :)

Sebelum mengetahui lebih jauh, ada baiknya jika kita mengetahui apa definisi hati. Dan mengapa hati bisa menjadi sumber dari segala perilaku kita selama ini, simak penjelasan berikut ini.

Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumudin mengatakan, bahwa hati mengandung tiga pengertian.
  • Pertama

Hati adalah segumpal daging yang di dalamnya ada lubang dan di dalam lubang itu ada darah hitam (dalam ilmu kedokteran disebut liver)
  • Kedua

Hati adalah sesuatu yang halus (lathifah) dan bersifat ketuhanan (rabbaniyah)
  • Ketiga

Hati adalah nafs yang didalamnya terhimpun dalam berbagai jenisnya. Ada yang disebut nafs muthmainnah (diri atau jiwa yang tenang, misalnya jiwa yang suka berzikir, berjiwa serius tapi santai, memiliki jiwa yang lapang, sabar, penuh kasih, pemaaf, dan sebagainya).
Namun ada yang disebut nafs lawwamah (jiwa yang mencela, misalnya seringkali mengeluh, menghina orang lain, cemberut, jutek, dan sebagainya), dan yang paling buruk adalah nafs ammarah bissuu’l (jiwa yang selalu menurut kepada yang jahat, misalnya dengki, suka memfitnah, merusak, dan sebagainya).

Nah, kondisi hati itulah yang ternyata akan mempengaruhi diri kita secara keseluruhan

Nantikan posting selanjutnya untuk mengetahui bagaimana kamu bisa mengobati hatimu sendiri :)

(Sumber :  Buku "Be New You" oleh Izzatul Jannah)



Keep moving and believe that Allah always beside you! ;)

Senin, 17 Oktober 2011

40 hari

"Diikutsertakan dalam LMCR 2011, tapi belum beruntung ternyata. Salut untuk para pemenang, semoga suatu saat bisa menjadi pemenang juga seperti kalian. Saya masih butuh banyak belajar.. :)"


Oleh : Defitria Wardhani

Beberapa bulatan tinta merah terang melingkar di kalender kamarku. Jika kuhitung jumlahnya sekiranya ada 40 bulatan merah. Bulatan yang paling besar aku buat di tanggal 25 Mei. Tanganku dengan mantap telah menandai tanggal itu sejak lama. Entah mengapa yang kupilih adalah tanggal 25 Mei, tepat satu hari sebelum hari ulang tahunku. Hidupku belakangan ini sedang benar-benar kacau, hampir berantakan malah. Tubuhku seringkali menabrak benda-benda ketika berjalan, aku baru tersadar ketika kemudian ditegur orang yang aku tubruk bahunya, atau dalam keadaan yang lebih parah, aku akan tersadar ketika sudah benar-benar jatuh tersungkur.
Ironis. Seperti itulah hidupku sekarang, berusaha mengingat-ingat apa penyebab semua ini namun aku tak bisa mengingatnya. Sel-sel otakku kurasa sudah hampir berhenti bekerja, sudah mati rasa mungkin. Beruntung aku masih mampu mengingat hal-hal dasar seperti siapa namaku dan informasi mendasar lain mengenai jati diriku. Singkat kata, aku tak ubahnya seperti mayat hidup sekarang.
Mataku kembali terpaku pada bulatan merah yang melingkari tanggal 25 Mei pada kalender kamarku. Hari ini tanggal 15 Mei – aku menghitung maju satu per satu. Berarti hari ini tepat sepuluh hari sebelum tanggal yang begitu menghantuiku beberapa waktu terakhir ini. Sepuluh hari sebelum tanggal 25 Mei. Lama kutatap lingkaran merah itu, kemudian tubuhku gemetar – bukan karena kedinginan. Aku bergidik, menggeleng cepat untuk mengusir fikiran yang mengganggu di benakku.

Hari-hari biasanya akan terus berlangsung membosankan, takkan ada bedanya dengan hari ini. Setelah seragam putih abu-abu sempurna melekat di tubuhku, aku menatap cermin, memastikan aku tidak melupakan sesuatu yang fatal. Setidaknya aku sudah memakai kemeja, rok, dan kaus kaki. Kulirik rak sepatu di pojok kamarku, kemudian memilih flat shoes abu-abu yang mulai tampak kusam. Untuk memaksa diriku tetap hidup saja sudah merupakan hal yang sangat sulit, jadi mencuci sepatu sama sekali bukan prioritas hidupku.

Gambaran lingkaran merah besar di tanggal 25 Mei itu begitu menguasai fikiranku. Bahkan ketika sekarang ragaku sedang berada dalam kelas pelajaran bahasa Indonesia. Ya, hanya ragaku yang tinggal, fikiranku melayang entah kemana, namun tetap menangkap satu gambar nyata dalam benakku yakni gambaran lingkaran merah itu.
“Ferra, sudah sebulan ini kok kamu jadi pendiam sih? Ngga seperti Ferra yang biasanya deh, kenapa?” sebuah tangan menyenggol pundakku kemudian seperti mengembalikan jiwa yang sebelumnya pergi tanpa pamit pada ragaku.
“Sheila” hanya senyum yang bisa aku hadiahkan padanya, Sheila adalah teman sebangkuku. Aku bahkan tidak mendengar apa yang tadi ia katakan padaku, jadi akan lebih tepat jika aku hanya diam sambil tersenyum seperti sekarang ini.
“Kamu kenapa Ferra?” kali ini suaranya sengaja dipelankan. Bu Vega sedang memperhatikan ke arah kami. Beliau meminta Tio – teman yang duduk di belakangku untuk mengambilkan sesuatu di ruang kerjanya. Kemudian Bu Vega kembali asyik mengukir tulisan indahnya di papan tulis. Belajar bahasa Indonesia dengan Bu Vega hampir terasa seperti belajar ala anak sekolah dasar. Ia selalu saja asyik mencatat di papan tulis, dan membiarkan kami asyik sendiri dengan kegiatan kami masing-masing. Siapa yang tahan mencatat sampai berlembar-lembar setiap harinya?
“Aku ngga kenapa-kenapa Sheila, memangnya aku kelihatan aneh?” mataku mengerling berusaha menggodanya.
“Iya” kepalanya mengangguk cepat.
Raut mukaku berubah muram, ternyata selama ini orang-orang disekitarku juga merasakan keanehan dalam diriku.
“Tuh kan sedih lagi..” kali ini Sheila menepuk pundakku penuh kasih. Aku menyerah untuk tidak mengatakan yang sejujurnya hal yang aku rasakan kurang lebih 30 hari terakhir ini, dan Sheila adalah orang pertama yang berani menanyakan apa sebenarnya yang terjadi padaku.
“Nanti jam istirahat aku ceritakan” janjiku. Aku berusaha menyalin barisan tulisan yang sudah hampir memenuhi papan tulis di muka kelas.

***
Aku tak mungkin bisa mengingkari janjiku. Seusai kelas bahasa Indonesia, Sheila terus membuntutiku, bahkan menungguiku ketika aku melakukan kegiatan di toilet. Temanku yang satu ini ternyata jauh lebih perhatian dari yang aku sadari selama ini.
“Sambil makan ya Fer ceritanya, mukamu pucat tuh, pasti belum sarapan tadi pagi ya?”
Aku hanya kembali dapat membalas perhatiannya dengan senyuman.

“Waktunya tinggal sepuluh hari lagi Shei” keluhku sedih mengakhiri penjelasan panjangku tentang keadaan diriku selama 30 hari terakhir ini. Kerongkonganku seperti tercekat saat mengucapkan kalimat barusan. Aku benar-benar baru pernah mengungkapkan apa yang selama ini memenuhi hati dan fikiranku pada orang lain. Selama ini aku repot menutupinya sendirian, aku terlalu khawatir masalahku ini hanya akan membuat orang lain malas mendengarnya. Imajinasiku terlalu liar, dan tidak semua orang dapat mengerti keadaanku yang satu itu. Tak kusangka ternyata Sheila mampu memahaminya. Kebanyakan dari sesi curhatanku kali ini, ia lebih banyak diam dan serius sekali mendengarkan, padahal selama ini teman-temanku yang lain hanya akan menganggap ceritaku sebagai angin lalu, sehingga aku memutuskan untuk memendam semuanya sendiri saja. Sheila begitu berbeda, dan aku sedih sepertinya terlambat menyadarinya.
“Kenapa kamu bisa buat kesimpulan kayak gitu sih Fer? Umur manusia mana ada yang tahu?” wajahnya cemas memperhatikan keadaanku.
Aku begitu lemah, benar-benar sama sekali tak punya semangat hidup. Aku tak pernah menyadari kapan awalnya ini terjadi. Namun, selama ini aku selalu dapat mengandalkan perasaanku yang seringkali benar. Entah indera ke-enam atau apa namanya, namun aku begitu kuat merasakan hal yang satu ini. Terlalu percaya pada banyak mitos, aku jadi tersiksa dengan hidupku belakangan ini. Dua mitos yang begitu kuat mempengaruhi hidupku 30 hari terakhir. Pertama, mitos bahwa orang akan menyadari kematiannya di 40 hari sebelum hari itu tiba. Kedua, orang seringkali meninggal di hari-hari menjelang hari ulang tahunnya. Aku meringis mengingat kedua mitos yang menghantui fikiranku belakangan ini.
“Aku ngerasa ngga hidup sudah hampir satu bulan ini Shei” Aku sengaja menekankan kata hidup dalam intonasiku.
“Maksudmu apa sih Ferra?” Sheila mulai marah mendengar omonganku yang mungkin sudah kelewatan menurutnya, namun itulah yang benar-benar kurasakan sebulan terakhir ini.
Aku memain-mainkan garpu di tanganku dan mengacak-acak makan siang yang terhidang di hadapanku.
“Dimakan Ferra, nanti kamu sakit” ucap Sheila masih dengan penuh kesabaran. Aku melihat wajah cemasnya dari balik bulu mataku.
“Ferra, kamu pernah fikirin perasaan Ibu kamu kalau kamu terus-terusan kayak gini?” Kalimat yang dilontarkan Sheila membuat dadaku sakit mendengarnya. Aku menjatuhkan garpu yang sejak tadi tidak sepenuhnya aku genggam. Bayangan wajah Ibu seketika itu juga nampak begitu nyata, seperti benar-benar sedang berada di hadapanku sekarang. Wajahnya tampak sedih dan cemas, tak kalah cemasnya dengan wajah Ferra. Belakangan ini aku memang hanya benar-benar memikirkan diriku sendiri dengan segala kegundahannya. Aku hampir melupakan orang tuaku, juga sahabat seperti Sheila yang ternyata jauh lebih memperhatikanku tanpa pernah aku sadari.
Terlintas kilasan-kilasan gambar kenanganku bersama Ibu. Selama ini beliau begitu menyayangiku dengan sepenuh hatinya. Sebulan terakhir ini ketika aku jadi jauh lebih pendiam dari biasanya pun Ibu tetap telaten memperhatikan keadaanku. Perasaan ngeri menjalar ketika imajiku liar berfikir bagaimana rasanya tak lagi bersama Ibu – bagaimana rasanya jika aku benar-benar mati seperti yang aku cemaskan akhir-akhir ini. Apakah aku akan kesepian di alam sana? Aku tidak tahu seperti apa rupanya raut wajahku sekarang, yang bisa kurasakan hanya butiran air yang sedikit hangat meluncur di kedua belah pipiku. Bola mataku ikut merasa panas seiring makin banyaknya air mata yang mengalir keluar.
Sheila beranjak dari tempat duduknya, ia kini sudah ada di sisiku, merangkul erat pundakku dan berupaya sebisa mungkin tidak menarik perhatian orang-orang di sekitar kami. Beberapa pasang mata memperhatikan namun kemudian tidak begitu memperdulikannya. Sheila membimbingku menuju taman di belakang sekolah, tempat yang setidaknya lebih baik karena tidak ada banyak mata yang bisa merekam drama tangisanku siang ini.

“Memangnya banyak peristiwa yang membahayakan jiwamu yang terjadi akhir-akhir ini?” Sheila seperti mencoba membaca fikiranku.
Aku diam sejenak, lalu menggeleng lemah.
“Lantas apa yang membuatmu berfikir bahwa kau akan mati?”
“Mimpi-mimpi buruk yang hampir setiap hari menghantuiku, dan perasaan yang begitu kuat. Entah mengapa Shei, namun aku benar-benar sudah merasa tidak hidup selama sebulan terakhir ini” suaraku melemah – hampir tidak kedengaran bahkan oleh telingaku sendiri.
“Prasangkamu takkan selamanya benar Ferra..” Sheila mengingatkan.
Aku menunduk – melipat kepalaku jauh lebih dalam. Masih tak mampu memahami apa yang sebenarnya membuat keadaanku seburuk ini sekarang.
Secercah cahaya putih menyilaukan mata berkelebat cepat di hadapanku, leherku hampir mau patah rasanya ketika mencoba mengikuti kecepatan cahaya itu. Seketika seluruh udara disekitarku terasa berhenti, hampa, dan begitu sunyi.
Aku berdiri di ruang hampa yang seolah tak bertepi. Dindingnya berlapis wallpaper putih bersih. Di sudut nun jauh disana cahaya keemasan berkilau-kilau. Mataku menyipit menghindari cahaya mengkilap yang begitu menyilaukan mata itu. Selama beberapa detik itu aku hampir tak mampu mendefinisikan apa yang sedang kurasa. Semuanya terasa membingungkan, sepi, sunyi, tanpa udara...

Aku terhenyak kemudian mengerjapkan mata beberapa kali ketika pundakku ditepuk-tepuk oleh Sheila dengan panik. “Ferra! Fer! Kamu kenapa? Ferra!” Sheila mengibaskan telapak tangannya di depan wajahku. Aku masih bingung dan tidak tahu apa yang baru saja aku alami beberapa detik yang lalu.
Sheila membukakan botol air mineral dan memintaku untuk meminumnya. Aliran air yang mengalir di sepanjang tenggorokan seperti mengembalikan kesadaranku perlahan-lahan.
“Aku takut Shei” tiba-tiba saja aku tak lagi mampu membendung air mata yang mengalir keluar dari kelopak mataku. Sheila membimbingku untuk menyandarkan kepalaku di pundaknya. Mengusap rambutku dengan lembut, berusaha sedapat mungkin menenangkan perasaanku yang benar-benar kacau.
***
Aroma wewangian beragam bunga-bungaan menyeruak masuk melalui rongga hidung. Aromanya begitu sejuk dan menenangkan. Kakiku berjalan gontai tanpa arah, berusaha keluar dari ruangan luas yang sepertinya tak berujung ini. Sekelilingku kini gelap, tanpa cahaya, hanya aroma wewangian yang setia menemani. Tanpa cahaya namun aku tak berhenti berjalan meski tak sungguh-sungguh yakin arah yang kutuju. Semakin lama ruangan tempat aku berjalan semakin gelap dan mencekam, aroma wewangian yang terhirup di hidungku semakin lama semakin berlebihan hingga membuat hidungku sakit. Aku mulai kalut, takut, namun tak tahu apa yang sebaiknya kulakukan. Satu-satunya cara adalah berlari. Aku berlari dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, ingin berteriak meminta tolong. Namun, sekuat tenaga aku berteriak, tak sedikitpun suara yang keluar dari kerongkonganku yang terasa sangat kering ini. Aku hanya mampu terus dan terus berlari, meski kakiku mulai lemas, telapak kakinya pun hampir mati rasa. Mungkin aku sudah terlalu jauh berlari, namun belum juga menemukan tepian ruang gelap ini.
Kepalaku membentur lantai. Perlahan-lahan kabut gelap yang menutupi mataku pudar, aku mampu menangkap keadaan di sekelilingku sekarang. Aroma wewangian yang menusuk hidung pun tak lagi ada. Aromanya khas, aroma ruang tidurku. Butiran keringat sebesar biji jagung menghiasi keningku. Aku beranjak kemudian duduk di sisi tempat tidur. Barulah aku sadar, bahwa yang baru saja aku alami ternyata hanya mimpi.
Kepalaku masih terasa pusing, entah efek terbentur lantai atau efek dari ketegangan yang masih saja menyelimutiku akibat mimpi buruk yang kualami barusan. Namun ujung mataku tak dapat lepas dari kalender besar di dinding kamar. Menggantung penuh dengan lingkaran-lingakaran merah di beberapa tanggalnya. Lingkaran merah yang paling besar adalah hari ini, 25 Mei. Hari yang kunanti-nantikan, yang sudah kuperhitungkan baik-baik. Hari ini seharusnya menjadi hari kematianku. Dalam mimpi-mimpiku sebelumnya, aku selalu melihat matahari terbenam di tanggal 24 Mei. Berkali-kali aku melihat mimpi yang sama. Senja di tanggal 24 Mei, aku mengenakan gaun putih panjang, memandangi matahari terakhir yang mampu kulihat karena dalam mimpiku itu, aku begitu yakin takkan ada lagi hari esok. Dalam mimpi-mimpiku aku tak pernah mampu melihat pagi hari di tanggal 25 Mei.

Aku mengingat peristiwa terakhir saat bertemu dengan sahabatku, Sheila. Ya, ternyata ia adalah sahabat yang selama ini tak pernah benar-benar aku sadari keberadaannya. Dia lah satu-satunya teman yang memperhatikanku begitu dalam, melebihi aku memperhatikan diriku sendiri. Siang itu di sekolah kami, setelah aku menceritakan kegundahanku yang kualami sebulan terakhir, ia menasihatiku untuk menghilangkan fikiran-fikiran buruk tentang kematian, aku harus tetap optimis untuk hidup dan jangan terlalu percaya pada mimpi-mimpi yang aku alami selama ini.
Pagi ini aku membuktikan kata-katanya. Ternyata benar, mimpi-mimpiku selama ini hanyalah kekhawatiran yang sama sekali tak beralasan. Secercah kelegaan membumbung di hatiku. Akhirnya hari yang aku tunggu-tunggu selama ini, segala prasangka buruk yang menyelimuti hidupku empat puluh hari terakhir ini sungguh benar-benar tak beralasan. Pagi ini, tanggal 25 Mei, aku masih hidup, duduk di kamarku yang nyaman dan hangat, menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan menenangkan. Kebahagiaan yang begitu kurindukan selama ini kini telah kembali, hidupku menjadi lengkap, kekhawatiranku tak lagi perlu aku rasakan. Kenyataan mengalahkan semua kegundahan yang aku rasakan.

***
Aku memandangi refleksi diriku dalam cermin. Lingkaran hitam di bawah mataku masih nampak samar meski aku sudah melapisinya dengan sentuhan tipis compact powder. Namun senyuman tak henti-hentinya tergambar di wajahku. Aku memberikan sentuhan sempurna dengan sedikit lipgloss di bibir mungilku.

“Ibuuu..!” aku menyuarakan kebahagiaanku, menyapa Ibu pagi ini dengan aku yang baru.
“Kok Ayahnya ngga dipanggil?” Ayah yang sedang menikmati sarapannya menggodaku dengan raut wajah yang dipura-purakan kesal.
“Iya deh.. Halo Ayah..” Aku tersenyum sambil kemudian duduk diantara mereka.
Ayah ikut tersenyum menyambut kebahagiaan yang tergambar jelas di wajahku.
Alis Ibu bertaut memperhatikan tingkahku. “Kamu dandan?” tanya Ibu sambil memperhatikan wajahku lekat-lekat.
Aku tersipu mendengar pertanyaan Ibu “Jelek ya bu??” aku mengerucutkan bibir – pura-pura kecewa mendengar kata-kata Ibu barusan.
“Eh, ngga kok. Anak Ibu cantik, cuma aneh aja Ibu melihatnya. Kamu kan ngga biasa-biasanya dandan kalau ke sekolah. Lagipula hari ini kamu kelihatannya senang sekali ya” Ibu tersenyum kemudian mengelus rambutku.
“Iya dong bu!” aku membalas senyum Ibu.
“Hmm, Ibu tahu... Pasti karena besok kamu mau ulang tahun ya? Kamu yakin ngga mau merayakan ulang tahunmu? Besok kan ulang tahun kamu yang ke 17. Biasanya anak seumuran kamu selalu ingin ulang tahunnya dirayakan lho..”
Seteguk susu cair yang sedang mengaliri tenggorokanku seakan ingin kembali keluar ketika mendengar kata-kata Ibu barusan. Aku tersedak, baru ingat bahwa esok adalah hari ulang tahunku. Namun perasaanku kembali tenang saat menyadari hari ini aku baik-baik saja. Tidak seperti yang aku cemaskan akhir-akhir ini. Firasatku selama ini ternyata hanya perasaan buruk yang tak pernah terbukti kenyataannya.
“Pelan-pelan minum susunya Ferra” Ibu menepuk-nepuk pundakku.
Aku tersenyum sambil mengusapkan tissue diatas bibirku.
Fikiran buruk yang telah menghantuiku selama 40 hari terakhir ini harus aku hilangkan. Pagi ini aku sudah membuktikannya sendiri. Aku masih ada di ruang makan ini, di rumahku, duduk bersama Ibu dan Ayah – orang-orang yang paling aku sayangi di dunia ini.
“Besok Ferra tunggu kado dari Ibu dan Ayah ya..” senyumku manja sambil menggoda kedua orang tuaku.

Pagi itu suasana sarapanku terasa begitu membahagiakan. Sebelum berangkat ke sekolah, hatiku tiba-tiba tergerak, ingin sekali memeluk Ibu – hal yang biasanya jarang sekali aku lakukan. Seingatku, bahkan selama ini aku belum pernah berucap secara lisan bahwa aku sangat menyayanginya. Pagi ini, saat suasana hatiku sedang benar-benar bahagia, kurasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan yang selama ini belum sempat aku katakan pada Ibu.
“Ibu..”
Ibu menoleh ke arahku. Aku memandangi guratan di wajahnya yang masih tetap cantik meskipun garis-garis di sekitar mata dan bibirnya tak mampu menyembunyikan usianya yang mulai menua. Aku mengaguminya, selama keadaanku lebih dari satu bulan belakangan ini, ia begitu telaten menjagaku dan memberikan segala cinta kasihnya padaku. Aku terharu dengan kebesaran cintanya padaku. Tak mau merusak keceriaan pagi ini, aku berusaha melupakan tangis bahagiaku yang hampir keluar dari kelopak mata, aku kemudian melompat ke pelukan Ibu yang berdiri tak jauh dariku.
“Ibu, Ferra sayang sekali sama Ibu. Terima kasih ya Bu untuk kasih sayangnya selama ini. Maafin Ferra belum bisa jadi anak yang baik. Ferra sayang Ibu” pelukanku semakin erat melingkari tubuhnya, rasanya begitu hangat berada di pelukan Ibu. Begitu hangat, dan menenangkan.
“Ibu juga sayang kamu Ferra. Jangan sedih-sedih lagi ya. Anak Ibu harus bisa terus ceria seperti hari ini” Ibu mengusap rambutku dengan penuh kasih, kemudian memelukku sekali lagi.
Aku masih enggan beranjak dari dekapan hangat Ibu, namun dentang jam tujuh kali berturut-turut dari ruang tamu mengagetkanku. Dengan cepat aku melepaskan dekapanku dari tubuh Ibu.
“Wah, sudah jam tujuh. Aduh, Ferra bisa terlambat masuk kelas biologi nih..” keluhku sambil terburu-buru meraih ranselku yang terletak diatas meja. Aku mengecup punggung tangan Ibu dan Ayah selepas lalu kemudian berlari ke arah pintu.
“Kamu ngga mau bareng Ayah?” Tanya Ayah
“Ngga yah. Ferra naik angkutan umum aja” teriakku
Aku kembali berlari namun kemudian ketika hampir sampai di depan pintu, aku berhenti. Meski aku tahu aku akan terlambat tiba di sekolah, namun entah mengapa aku masih saja ingin berbalik dan sekali lagi mengamati wajah Ibu dari balik daun pintu.
“Ibu..” panggilku akhirnya setelah beberapa detik mengamati lekukan wajahnya.
“Ada apa lagi Ferra? Nanti kamu terlambat lho..”
Aku tersenyum menangkap gurat kecemasan tergambar di wajah Ibu. “Aku sayang Ibu.. daaa..” Senyuman Ibu membalas lambaian tangan yang mengiringi langkah tergesaku meninggalkan rumah.

Hari itu berjalan sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Setibanya di kelas biologi hari itu, beruntung Pak Diyo sedang keluar untuk mengambil beberapa alat untuk praktikum sehingga aku bisa menyelinap masuk ke dalam kelas. Mataku berputar mengelilingi kelas, dan sosok yang kucari ada di sudut kelas, sedang sibuk berkutat dengan buku tebal di genggamannya.
“Sheilaaa..” suaraku jelas begitu menggambarkan kegembiraan.
Sheila nampak bingung, kaget dan tidak menyangka melihat perubahan yang begitu signifikan dalam diriku. Ia berdiri dan dengan cepat melompat kedalam pelukanku.
“Ferra. Aku fikir kamu ngga masuk” ucapnya tak kalah gembira
“Sheila, aku baik-baik saja. Sekarang tanggal 25 dan aku baik-baik saja Shei..” aku memegang kedua lengan Sheila dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Kami berdua begitu gembira hingga tak terasa sedang melompat-lompat bersama. ‘perayaan’ kegembiraan kami berakhir ketika Pak Diyo memasuki kelas kami. Aku dan Sheila duduk berdampingan. Hari ini aku siap kembali menerima pelajaran. Takkan ada lagi Ferra yang dirundung kesedihan. Kelas biologi yang biasanya tak aku sukai pun hari itu menjadi begitu menyenangkan aku jalani bersama Sheila.

***

“Ferra!!!” jeritan keras suara laki-laki berada diantara alam mimpi dan dunia nyata di pendengaranku. Masih samar-samar. Aku sedang menikmati tidur nyenyakku yang tidak dihantui mimpi buruk malam ini – tidak seperti malam-malam sebelumnya. Apa suara yang barusan kudengar hanya mimpi? Kelopak mataku belum sepenuhnya terbuka. Terlalu nyaman menikmati kehangatan tubuhku yang dibalut selimut tebal. Namun suara itu kali ini terdengar lebih jelas. Memanggil namaku dengan lebih lantang. Itu suara Ayah! Dengan tubuh yang masih limbung, aku beranjak cepat dari atas tempat tidurku kemudian berlari ke arah sumber suara.
Aku berdiri mematung di pintu kamar orang tuaku. Meyakinkan apakah yang ditangkap oleh dua bola mataku seburuk apa yang ada di fikiranku. Ayah berlutut di sisi tempat tidur, memeluk tubuh Ibu yang tampak tak berdaya. Wajah Ibu pucat, tidak merona seperti biasanya. Mata Ibu terpejam, entah mengapa Nampak begitu damai. Bibir mungilnya mengguratkan senyuman yang kelihatan abadi. Belum yakin apa yang sebenarnya terjadi, aku sudah tak mampu menahan air mata yang memaksa keluar mengalir dari kedua bola mataku.
Langkah gontaiku perlahan menghampiri tempat tidur orang tuaku. Aku bisa memperhatikan punggung Ayah bergerak-gerak diiringi isak yang tertahan. Belum pernah aku melihat Ayah menangis seumur hidupku.
“Ibu sudah tidak ada..” suara Ayah terdengar serak. Menjawab segala pertanyaan yang tak mampu aku sampaikan. Duniaku seakan berhenti seketika. Rasanya ingin berteriak untuk mengatasi rasa sesak luar biasa yang memenuhi rongga dada. Namun berteriak sekencang apapun takkan ada suara yang mampu keluar. Tungkai kakiku seketika lemas, rasanya seperti tak lagi memiliki tulang yang mampu menyangga tubuh ini. Sekelilingku tiba-tiba gelap, kepalaku pusing dan suara isak tangis Ayah tak lagi terdengar.

Aku egois. Terlalu naif untuk mengakui bahwa begitu banyak kasih sayang dari orang disekitarku yang tak pernah sempat aku sadari. Belakangan ini hanya menyibukkan diri dengan ketakutanku sendiri. Lemah karena tak mampu melihat apa yang selama ini aku miliki. Terlalu sibuk dengan ketakutan-ketakutan konyol yang aku ciptakan sendiri. Melupakan orang yang begitu menyayangiku yang tak pernah aku syukuri keberadaannya. Saat semua telah pergi, bodoh rasanya menyesali semua ini.
Hari ini adalah ulang tahunku yang ke 17. Remaja seusiaku seharusnya sedang menikmati pesta perayaan ulang tahun yang dinantikan hampir setiap remaja. Usia dimana seorang remaja ingin dianggap dewasa lebih dari sebelumnya. Aku tak menginginkan kado yang muluk. Namun ternyata ini adalah hadiah yang Ibu berikan kepadaku. Rasa sakit dan kehilangan. Rasa perihnya ditinggalkan orang tersayang. Jika usia remajaku harus dibayar dengan kepergian Ibu, aku tak pernah ingin hari ini datang. Aku tak pernah siap. Bahkan aku rela menjadi kanak-kanak selamanya asalkan bisa bersama Ibu.
Segalanya terlalu cepat, dan aku belum siap untuk keadaan sesulit ini. Dapatkah Tuhan menukar jiwa Ibu dengan jiwaku saja?

***

Jadilah Diri Sendiri Saat Menulis!

Menulis itu mudah asal kita tahu caranya...

Caranya adalah "Menjadi Diri Sendiri".


Banyak orang yang sangat ketakukan saat akan mulai menulis. Bayangan

mereka selalu tertuju pada tulisan indah, bagus, sempurna yang pernah
mereka baca.

Mereka sudah ketakutan sebelum perang dimulai. Karena acuan mereka

adalah tulisan-tulisan indah atau tulisan hasil karya orang lain.

Tentu saja mereka takut karena bagaimanapun juga kita adalah kita dan

tidak akan bisa menjadi orang lain.

Bahkan penulis hebat sekalipun tidak akan mampu mengikuti gaya

tulisan kita.

Kita ini berbeda, kita unik dan memiliki ciri khas sendiri.


Jadi jangan berusaha untuk menulis dengan gaya tulisan orang lain.

Yang benar adalah tulis dengan gaya kita sendiri. Karena itulah yang
akan mencerminkan jati diri kita.

Menjadi diri sendiri saat menulis sangat mengasyikkan, sehingga tidak

ada lagi batasan-batasan yang harus kita patuhi akan seperti apa
tulisan kita nantinya.

Apa yang ada dipikiran kita keluarkan saja karena memang itulah kita

apa adanya.

Sehingga hasil tulisan kita nantinya akan mengalir sejiwa dengan

siapa diri kita.

Silahkan deh dipraktekkan... Anda akan terkejut melihat hasilnya.

Jumat, 14 Oktober 2011

Update #2

Helloooooo, this is a new me :D

Thanks for everyone for your spirit all the time, love you all :*

Kamis, 13 Oktober 2011

Happy Colouring :)


This is an icon for my Module at International Design School - place where i'm internship since about three months ago. I called it Mr. IDS :)

Drawing by : Ilham
Colouring by : Me :D

Pertemuan

Takdir kadang terlihat lucu
and really unpredictable.. :)

Jika ada dua orang dengan latar belakang sama saling dipertemukan, apa makna pertemuan ini?

Jika ada seorang wanita yang baru saja ditinggalkan dan tersakiti, kemudian bertemu dengan pria yang juga baru saja ditinggalkan dan dicampakkan, maka apa makna pertemuan ini?

Jodoh? :)

Haha, terlalu dini untuk menyimpulkan itu semua,
satu yang pasti, Allah Maha Baik..
Ia tak akan memberikan kesedihan yang berkepanjangan pada hambanya.
Jadi, tersenyumlah :)

Rabu, 12 Oktober 2011

Apalah Arti Menunggu - Raisa

Telah lama aku bertahan dalam cinta wujudkan sebuah harapan
Namun kurasa cukup ku menunggu, semua rasa tlah hilang
sekarang aku tersadar
cinta yang kutunggu tak kunjung datang
apalah arti aku menunggu bila kamu tak cinta lagi

Namun kurasa cukup ku menunggu, semua rasa tlah hilang
sekarang aku tersadar cinta yang kutunggu tak kunjung datang
apalah arti aku menuggu bila kamu tak cinta lagi

Dahulu kaulah segalanya
dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
namun sekarang aku mengerti
tak mau ku menunggu, sebuah cinta yang semu

Sekarang aku tersadar cinta yang kutunggu tak kunjung datang
apalah arti aku menunggu bila kamu tak cinta lagi
apalah arti aku menuggu bila kamu tak cinta lagi

"Ini bukan lagu galau, ini adalah ungkapan galau terakhir" - Raisa

And its time to move on! ;)

Kanvas Tinta Darah

Dua setengah tahun yang lalu aku sedang duduk di trotoar jalan, sedang merenungi rasanya ditinggalkan.
Sedih, pahit tentu saja.
Aku diam, masih termangu dalam kegelapan malam, masih enggan beranjak
Namun aku berusaha bangkit untuk menyusuri jalan di hadapanku saat ini, jalannya masih begitu gelap.
Perlahan aku menyeret langkah tertahanku, terseok-seok namun enggan berhenti.

Secercah cahaya terang bersinar di ujung jalan, aku menghampiri cahaya itu
Disana, cahaya itu membolehkanku mengambil sebuah kanvas putih besar yang ada di genggamannya.
Aku masih linglung, tak mengerti apa arti pemberian kanvas besar ini.
Tanpa suara, ia seolah berseru, memintaku untuk mengisi bidang kosong dalam kanvas itu.
Harus kuisi dengan apa kanvas putih kosong ini?
Aku merasa tenang berada dekat dengan cahaya indah ini.

Perlahan demi perlahan rasa sakit dan kehilangan yang kurasakan sebelumnya mampu terkubur saat berada disisi cahaya ini.
Aku tidak punya tinta warna warni untuk melukiskan lukisan indah dalam kanvas yang sekarang telah ada dalam genggamanku
Lagipula aku tak begitu suka melukis
Aku ingin menulis sesuatu dalam kanvas itu, apa saja..
Aku melirik ujung jariku yang kini telah ada di genggamannya
Perlahan aku mendekatkan ujung jariku pada mulutku.
Aku menggigit jariku sendiri, kugigit hingga keluar darah segar dari ujung-ujungnya
Aku tak memperdulikan rasa sakit yang kurasakan, bagiku ini hanya sesaat
Selama ada di sisi cahaya indah ini, rasa sakitku akan baikan
Tinta darah itu yang kugunakan untuk menulis huruf demi huruf dalam kanvas yang ia berikan

Waktu terus berlalu, dan setiap harinya aku terus menulis dengan tinta dari darah yang keluar dari ujung jariku sendiri
Menulis dengan penuh rasa sakit, namun tetap kujalani hingga waktu berlalu tak terasa telah dua setengah tahun lamanya.
Tulisanku sempat berhenti di beberapa bagiannya, namun tak pernah benar-benar berhenti, aku ingin terus menulis, meski pada akhirnya nanti darahku sendiri yang akan habis.

Entah mengapa seiring waktu pula, cahayamu meredup.
Namun aku tetap tak lelah menulis, meski kurasakan mulai melemah.
Mungkin darahku hampir habis kini..

Suatu malam, malam yang tak pernah aku harapkan kedatangannya
Seorang wanita cantik mengambil kanvas itu dari tanganku.
Ternyata wanita ini tak benar-benar baru datang
Ia menunggu sejak lama, memperhatikan aku dan sang cahaya selama dua setengah tahun ini
Kemudian mungkin ia lelah menunggu, ia memutuskan untuk mengambil paksa kanvas itu dari genggamanku
Aku mencoba merebutnya, mempertahankan tulisan yang susah payah kugoreskan selama ini.

Cahaya, kamu masih disana, berdiri diam memperhatikan kami memperebutkan kanvas yang hampir penuh dengan tulisan tinta darahku itu.
Tapi kamu hanya diam, tidak berbuat apa-apa
Hingga akhirnya aku yang lemah dan tak mampu lagi mempertahankan kanvas itu, jatuh tersungkur.
Wanita cantik itu tersenyum, mendapati kanvas yang kujaga dengan segenap hatiku selama dua setengah tahun ini
Tak rela kanvas penuh tulisan tinta darah itu direbut begitu saja, aku bangkit, berusaha merebut kembali apa yang seharusnya jadi milikku.

Namun tiba-tiba hujan deras mengguyur kami bertiga
Aku menyaksikan perlahan demi perlahan huruf demi huruf dalam kanvas itu luntur disapu hujan
Masih berada dalam genggaman wanita cantik, warna kanvas itu kini tak lagi putih, namun basah, hampir robek dan tulisan tinta darahku hampir sirna seluruhnya.

Cahaya, kamu masih diam, melihat kanvas itu rusak begitu saja.
Yang tak pernah terduga adalah, tiba-tiba kau mengeluarkan kanvas baru dari balik tubuhmu. Yang masih terbungkus plastik, dikemas indah, lengkap dengan tinta warna-warni di dalamnya.

Kemudian apa yang kau lakukan?
Kau meminta wanita cantik itu membuang kanvas-ku dan mengambil kanvas baru yang jauh lebih indah itu
Wanita itu tersenyum sekilas,
Kemudian kalian membalikkan tubuh, berjalan menjauhiku yang masih terpuruk

Dalam hujan deras di tengah malam ini, aku masih belum mampu bangkit
Memperhatikan sepasang punggung bergerak menjauhiku
Meninggalkanku di tengah malam sunyi yang jauh lebih menyakitkan dari apa yang kurasakan dua setengah tahun yang lalu.
Tubuh lemahku diguyur hujan deras,
Kanvasku hampir hancur, tak bisa lagi kuperbaiki
Aku mendapatinya teronggok lemah di jalan, semua tinta darahnya telah terhapus hujan
Cahaya pun telah pergi bersama wanita cantik itu
Kini sekitarku benar-benar gelap.
Kanvasku pun sudah benar-benar hancur
Dan darah dalam tubuhku hampir habis sepertinya
Ah, terlalu sakit

Akankah ada cahaya baru yang akan datang?
Membantuku bangkit dari keterpurukan ini?
Akankan cahaya baru itu mampu mengembalikan semua darah yang telah aku gunakan untuk menulis dalam kanvas masa lalu itu?
Akankah aku masih mampu hidup tanpa darah dalam tubuh lemahku?