Senin, 06 Juni 2011

Pahlawan Bumi


Oleh : Defitria Wardhani

Aku memejamkan mata begitu dalam, memaksa otakku berfikir keras. Tubuhku terbaring diatas hamparan hijau yang lembab karena embun yang masih menempel di beberapa bagiannya. Aroma segar dari rerumputan itu menemaniku. Siraman hangat sinar matahari membuatku kian tenggelam dalam kenyamanan. Aku hampir terbuai dengan keadaan sekitarku dan melupakan tujuan awalku datang kesini. Ini adalah tempat terbaik yang ada di desaku. Entah mengapa bagiku lapangan luas berselimut rumput hijau ini adalah tempat yang selalu bisa membuatku berfikir tenang dan menghilangkan segala gundah yang aku rasa.
Setidaknya untuk pagi ini, hampir satu jam aku baringkan tubuhku disini. Rasanya begitu nyaman, disempurnakan pula oleh hembusan semilir angin lembut nan sejuk membelai kulit tubuhku. Keadaan ini nyaris begitu sempurna. Ditengah luar biasa nyamannya keadaan sekitarku kini, otakku merasakan sebaliknya. Esok ada tugas sekolah yang harus dikumpulkan dan aku sama sekali belum mendapatkan ide untuk menyelesaikannya. Tugas yang kudapat kali ini tampak begitu berbeda dari tugas-tugas yang biasa Ibu guru berikan kepadaku. Beliau menyuruh aku dan teman-temanku berkreasi melakukan sesuatu untuk bumi kita tercinta ini. isu global warming yang kian marak dibicarakan masyarakat memang sedang menjadi perbincangan pula di desa kami. Jika melihat keadaan alam yang begitu asri di desa yang hanya terdapat belasan rumah ini, sesungguhnya kami tak perlu takut mengalami kekeringan ataupun bencana banjir akibat perilaku buruk penduduknya. Namun kami pun tak ingin egois dengan hanya memikirkan lingkungan desa kami saja. Kami juga ingin berperan serta dalam aksi penyelamatan bumi agar terhindar dari pemanasan global.
Otakku belum juga menemukan kreasi apa yang sebaiknya aku lakukan untuk tetap menjaga bumi agar terhindar dari global warming sekaligus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guruku di sekolah.
“Ah!” Aku bangkit dari posisiku yang sebelumnya berbaring menjadi duduk diatas hamparan rumput hijau nan indah ini.
Suara celotehan dua orang anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun terdengar dari sudut lain lapangan dimana aku duduk sekarang. Mereka tampak begitu gembira dan saling berkejaran. Seorang anak yang bertubuh lebih besar membawa pedang-pedangan yang terbuat dari daun kelapa yang dijalin membentuk benda serupa pedang. Punggungnya dibalut kain sarung yang diikat pada pundaknya. Ia berlagak bak seorang jagoan mengibarkan jubahnya kemudian mengangkat pedangnya setinggi mungkin. Kedua anak itu sama sekali tidak berkelahi. Mereka hanya saling berkejaran sambil tertawa lepas tanpa beban sama sekali.
Aku ikut tersenyum melihat tingkah polah mereka. Mereka tampak begitu gembira tanpa beban. Setelah lama mengamati, aku memutuskan untuk menghampiri mereka.
“Hai, kalian sedang main apa?” tanyaku saat sudah berada di samping mereka
“Eh kak Arif, mau ikut main? Kami sedang main pahlawan-pahlawanan kak” jawab anak yang memakai jubah. Ternyata ia adalah Doni. Ia tinggal sekitar tiga rumah jauhnya dari rumahku. Desa kami hanya terdiri dari lima belas kepala keluarga. Hampir tak ada warga yang tidak saling mengenal disini. Lima belas keluarga yang berbeda itu layaknya sudah seperti satu keluarga yang utuh dan tidak bisa dipisahkan.
“Itu apa yang dipegang Adi?” tanyaku kemudian menanyakan benda serupa pedang yang dipegang teman sepermainan Doni.
“Ini pedang kak. Tadi, sebelum main, kami ambil daun kering yang jatuh di kebun, lalu kami buat pedang-pedangan ini. Bagus nggak kak?” tanya Adi sambil memamerkan pedang buatannya.
Aku tersenyum memperhatikan tingkah mereka yang begitu menggemaskan. Tidak menyangka, anak usia lima tahun seperti mereka saja bisa berkreasi dengan daun kering yang semestinya hanya jadi sampah yang tidak berguna. Seketika itu pula wajahku berubah cerah. Aku menemukan ide yang tepat untuk menyelesaikan tugas dari guruku. Sore itu aku melanjutkan bermain-main bersama mereka. Menutup sore dengan senyum dan tawa. Di dalam hati, aku tak sabar menunggu hari esok datang. Aku akan segera memberitahukan pada Ibu Guru perihal ide yang aku temukan di lapangan hijau sore ini.

***
Tak banyak yang bisa menikmati bangku sekolah di desaku. Aku salah satu yang beruntung mendapat dukungan orang tuaku untuk tetap melanjutkan sekolah, meski lokasinya berada di luar desa kami. Cukup jauh memang, dan harus menumpang angkutan umum untuk pergi kesana. Hal ini yang membuat kebanyakan warga di desaku menyuruh anak-anak mereka untuk berhenti sekolah saja dan membantu mereka bertani atau beternak di rumah. Padahal biaya sekolah dasar sesungguhnya gratis, namun biaya seragam, buku sekolah dan uang transportasi yang membuat mereka menjadi berfikir dua kali untuk menyekolahkan anak mereka. Di desaku hanya aku, Sholeh, dan Arman yang masih melanjutkan sekolah hingga ke bangku kelas enam Sekolah Dasar seperti sekarang.
“Aku sudah mendapat ide untuk kelompok kita Man” ucapku membuka obrolan pagi itu saat kami menyusuri jalan desa menuju pinggiran jalan besar.
“Oh ya? Apa? Semalaman aku berfikir tapi masih belum tahu juga apa yang harus kita lakukan agar tetap bisa menjaga kelestarian bumi tapi dengan cara yang menyenangkan” keluh Arman
“Aku juga. Yang ada di fikiranku hanya membuang sampah pada tempatnya. Menurutku tak ada cara lain untuk menjaga bumi kita ini agar tetap bersih” timpal Sholeh.
Aku kemudian memutuskan untuk menceritakan ideku kepada mereka berdua. Kemarin selepas sore di lapangan hijau, aku pulang ke rumah dengan hati gembira karena telah menemukan ide untuk menyelesaikan tugas sekolahku. Setelah melihat Adi dan Doni bermain di lapangan sore itu, aku mendapat pencerahan berfikir. Mereka yang berusia lima tahun saja begitu luar biasa telah mengajarkanku memanfaatkan daun kelapa yang semestinya hanya menjadi sampah yang tak berguna, namun mereka dengan daya imajinasinya yang luar biasa kemudian memanfaatkannya untuk hal yang lebih berguna. Mereka hanya menggunakannya untuk bermain, namun aku yakin, kami yang berusia lebih di atas mereka pasti mampu membuat sesuatu yang lebih bermanfaat bukan hanya untuk perorangan, namun bagi orang banyak.
Aku ingin kami bertiga berperan menjadi tiga orang pahlawan yang bertujuan menyelamatkan bumi dari kehancuran dan pemanasan global. Aku memilih cara ini agar anak-anak di desa kami pun mau ikut membiasakan diri mereka untuk menjaga kelestarian alam. Hampir tak ada anak-anak yang tidak suka dengan pahlawan. Akan terasa luar biasa jika mereka sendiri nantinya yang akan menjadi pahlawan itu. Tentunya sebagai pahlawan kami akan menolong masyarakat luas dan membantu menyampaikan kepada mereka pentingnya mencintai bumi.
Arman dan Sholeh tertawa mendengar ideku yang terdengar aneh dan tidak biasa ini. Namun kemudian mereka memutuskan untuk setuju dengan ideku. Kami kemudian mempercepat langkah kami menuju pinggiran jalan besar. Tidak sabar rasanya menyampaikan ideku ini kepada Ibu Guru di sekolah nanti. Kami harap, Ibu guru dapat menerima ide kami ini.

Gayung bersambut. Sesampainya di sekolah Ibu guru menanyakan masing-masing kelompok, ide apa yang kami miliki untuk membantu menjaga bumi kita dari bencana pemanasan global. Hampir semuanya bersemangat untuk menyampaikan ide mereka masing-masing hingga kemudian tiba giliran kelompok kami maju ke depan kelas untuk menyampaikan ide kami. Aku ditunjuk oleh Arman dan Sholeh sebagai juru bicara untuk tampil di depan kelas.
“Kelompok kami akan memerankan sosok tiga orang pahlawan yang memiliki tujuan menjaga bumi dari bencana pemanasan global”
Kontan hampir semua siswa yang ada di kelas tertawa mendengarkan kalimat pembuka yang aku sampaikan di depan kelas. Kebanyakan dari mereka pasti berfikir kami kekanak-kanakan karena menyisipkan peran pahlawan-pahlawanan dalam ide kami. Namun aku tidak perduli, aku tetap menjelaskan langkah demi langkah yang akan kami lakukan untuk menjalankan misi kami ini. Kami akan tetap menggunakan konsep pahlawan untuk dapat melindungi bumi dari bencana pemanasan global yang menjadi mimpi buruk hampir semua penduduk bumi.
Ibu guru menghadiahkan tepuk tangan penyemangat bagi kami sesaat setelah aku mengakhiri presentasiku di depan kelas, meskipun siswa-siswa lain tidak juga berhenti menertawakan bahkan mengejek ide kami.
Aku berjalan kembali ke tempat dudukku. Disana telah menunggu Arman dan Sholeh yang tetap tampak semangat melanjutkan misi kami ini. Mereka menepuk pundakku sambil tersenyum penuh semangat. Aku pun tak sabar untuk mulai menjalankan misi ini.
Tugas selanjutnya adalah membuat laporan dari ide yang kami telah presentasikan di depan kelas. Dan Ibu guru memberikan waktu satu minggu lamanya. Mulai besok kami diliburkan karena ada proses renovasi sekolah. Itu alasannya kami diminta mengerjakan tugas ini, sehingga selama satu minggu sekolah libur, kami tetap mengerjakan tugas dan tidak menghabiskan waktu liburan dengan hanya bermain-main saja di rumah.
Sebelum keluar dari kelas, Ibu guru mendekati kami. “Ide kalian hebat. Semangat ya!” Ibu guru mengelus kepala kami setelah kami mencium tangannya untuk pamit. Kalimat pendek yang disampaikan oleh Ibu guru seperti air lengkap dengan pupuk menyirami tunas yang baru akan tumbuh. Membuat semangat kami terus tumbuh untuk melaksanakan misi lingkungan ini.
Sepanjang perjalanan pulang, tidak henti-hentinya kami membicarakan segala sesuatu seputar ide pahlawan kami ini. Rasanya tak sabar menunggu matahari kembali mengintip dari balik peraduannya esok hari untuk memulai ini semua. Langit desa kami menyiratkan semburat kemerahan. Kami tenggelam dalam bayangan indah esok hari dalam benak masing-masing. Kami berpisah di ujung jalan, kemudian menuju rumah masing-masing sambil setengah berlari karena tak ingin terlampau sore tiba di rumah.

***
Pagi-pagi sekali Sholeh berhasil mengumpulkan sekitar dua puluh orang anak-anak di desa kami. Selepas shalat shubuh berjamaah di masjid fajar tadi, Sholeh langsung mengajak anak-anak itu untuk datang kembali berkumpul di lapangan sekitar pukul tujuh pagi sekarang ini. Wajahku menggambarkan rona bahagia melihat mereka berdatangan ke lapangan untuk memenuhi undangan kami. Kami sangat senang melihat antusiasme yang mereka miliki. Di desa kami memang tak sulit mengajak warga desa untuk berkumpul bersama seperti sekarang ini. setiap dua minggu sekali kami selalu mengadakan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan, kami juga selalu berkumpul untuk menyelesaikan suatu masalah yang harus diselesaikan dengan cara musyawarah. Meski hanya desa kecil, kami tak pernah merasa kecil dan terbelakang, kami memiliki rasa kekeluargaan yang begitu besar yang tak pernah membuat kami merasa kecil hati.
“Terimakasih ya sudah datang semuanya” aku mengeluarkan suara lebih keras dari biasanya agar semua anak yang ada di lapangan saat ini dapat mendengar suaraku.
“Siapa yang mau jadi pahlawan seperti superman atau spiderman??” tanyaku kemudian
Anak-anak yang hadir bersorak sorai sambil berlomba mengangkat tangan mereka setinggi mungkin. Wajah mereka tampak begitu bersemangat.
Arman kemudian datang membawa peralatan yang kami butuhkan. Masing-masing anak sudah membawa sarung dari rumah mereka. Peralatan tambahan yang mereka butuhkan adalah sebuah pedang yang terbuat dari daun kelapa, dan sebuah kantong plastik besar untuk masing-masing dari mereka.

Semua anak tampak bersemangat mengikuti instruksi yang aku berikan. Aku hanya meminta mereka mengumpulkan daun-daun yang berserakan serta sampah lainnya yang tampak mengganggu pemandangan di desa kami. Mereka melakukannya dengan senang hati karena mereka merasa saat ini mereka sedang menjadi seorang pahlawan. Aku, Arman dan sholeh pun tidak diam saja. Kami meniru gaya mereka mengikatkan kain sarung di pundak layaknya jubah superman, kemudian menggunakana pedang daun kelapa untuk memunguti sampah-sampah yang ada di desa kami. Kami pun melakukannya dengan sangat bersemangat.
Langkah selanjutnya adalah memisahkan sampah yang bisa didaur ulang dan sampah yang tidak bisa didaur ulang.
“Sampah plastik kalian letakkan di sebelah kanan, sedangkan sampah lain letakkan di sebelah kiri ya” ucap Arman sambil menunjuk arah tumpukkan sampah yang sebelumnya sudah kami contohkan bagaimana bedanya sampah yang bisa didaur ulang dengan yang tidak.
Pekerjaan kami selesai dengan sangat cepat. Tidak disangka, jika melakukan segala sesuatu dengan bersama-sama, hasilnya akan lebih cepat dan juga memuaskan.

Beberapa orang Ibu di desa kami tampak berjalan mendekati lapangan tempat kami berkumpul. Kini kami sedang beristirahat di bawah pepohonan rindang sambil meluruskan kaki-kaki kami yang pegal setelah berkeliling desa mengumpulkan sampah-sampah.
Beberapa Ibu menghampiri anak mereka masing-masing. Tidak disangka, ternyata mereka membawakan kue dan minuman untuk kami sebagai pengobat lelah setelah membersihkan desa pagi ini. tak ada satupun dari kami yang meminta Ibu-Ibu desa ini untuk menyiapkan makanan, namun ternyata tanpa diminta pun mereka melakukannya dengan senang hati.
Kami memutuskan mengakhiri hari dengan mengangkat sampah-sampah yang telah dibagi dalam dua kelompok. Beberapa plastik berisi daun-daun, plastik yang lain berisi sampah plastik. Ide yang datang dari Arman dan Sholeh seperti menyempurnakan hari kami. Mereka mengusulkan agar sampah daun diberikan kepada bapak-bapak di desa kami untuk kemudian diolah menjadi pupuk kompos, sementara sampah plastiknya bisa didaur ulang oleh para Ibu untuk menghasilkan kerajinan tangan yang hasilnya mungkin bisa dijual untuk menambah keuangan mereka.
Aku begitu puas dengan apa yang telah kami lakukan hari ini. semuanya berkat kerjasama dan rasa kekeluargaan yang begitu erat di desa ini. menjadi pahlawan dahulu mungkin hanya impian masa kecil yang terlalu muluk bagiku, namun kini tidak lagi, aku merasa telah menjadi pahlawan bagi desaku sendiri, tentunya bersama Arman, Sholeh, dan semua anak-anak lain di desaku. Tidak perlu memiliki kekuatan luar biasa ataupun kemampuan kebal terhadap senjata untuk menjadi seorang pahlawan. Cukup dengan tekad yang kuat dan semangat, siapapun ternyata bisa menjadi pahlawan. Aku, Arman, Sholeh bersama anak-anak lain di desaku telah membuktikannya. Kami, telah menjadi pahlawan bumi. Menjaga kebersihan alam adalah satu langkah awal, namun kami akan terus berjanji untuk terus menjaga bumi yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita ini. Jiwa kepahlawanan kami takkan berhenti sampai disini. Kami akan terus meniti hari dengan menjaga bumi pertiwi. Menjadi pahlawan bagi bumi :)

Rabu, 01 Juni 2011

Dear, Mama ...


  
Oleh : Defitria Wardhani

Seperti matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi
Selalu setia menanti bagai pelangi yang menghiasi langit selepas hujan reda
Aku menyayangimu, namun hingga kini belum sempat mengungkapkannya
Aku belum sempat ucapkan rasa dalam kata
Kita memang tak terbiasa mengungkapkannya dalam nyata
Imajiku menghayalkan indah masa kecil bersamamu
Dipangku, dibelai lembut penuh kasih, dibacakan dongeng memanjakan
Di matamu, aku sudah kelewat dewasa untuk meminta itu semua kini
Tapi aku rindu itu, Mama.

Kamu adalah kesempurnaan cinta kasih
Kamu adalah refleksi keindahan surgawi
Kamu, ketenangan cinta yang abadi

Rindu didekapmu, rindu dibelai jemarimu yang mulai lemah
Aku rindu dipelukanmu, satu dekapan hangat itu sungguh  bisa menenangkan jiwa yang gundah

Mama, saat mereka menggores hatimu,
Menumpahkan air matamu ditengah luka,
Aku ingin sekali jadi penghapus air mata, pelipur laramu
Namun aku tak mampu setegar dirimu
Mama yang aku tahu begitu luar biasa
Mendoakan mereka yang seringkali buatmu sedih
Mama yang takkan izinkan gigitan nyamuk mengganggu lelap tidurku
Mama yang takkan tidur tenang sebelum aku tiba di rumah.

Ma, aku minta maaf belum sempat membuatmu bangga
Ma, aku minta maaf untuk semua perilaku burukku kepadamu
Ma, boleh aku minta dipeluk dan dibelai rambutku lagi?
Aku belum mampu hadapi perihnya dunia ini sendiri
Aku belum mampu sekuat dirimu
Ketika semua kesedihan menyelimuti diri,
Ketika tiada seorangpun yang mampu mengerti kehampaan dalam hati,
Dekapan hangatmu tak terperi untuk mengisi kehampaan ini

Segala laku yang aku buat memang takkan pernah cukup untuk gantikan ketulusan hatimu.
Namun aku tahu kamupun tak pernah harapkan balasan apapun.
Kamu tanpa pamrih, mencurahkan segenap cinta dalam hatimu, hanya untukku

Ma, Aku sayang Mama.
Kuharap kalimat singkat itu lebih dari cukup untuk ungkapkan yang aku rasakan.
Peluk aku lagi, belai lembut rambutku lagi,
Jika untuk mendapatkan itu semua aku harus menjadi anak kecil, aku mau menjadi kecil untuk selamanya.
Aku mau menjadi anak Mama yang ditimang-timang manja dalam dekapanmu.
Aku tak akan pernah siap menjadi dewasa, aku terlalu takut hadapi dunia ini sendirian.

Namun aku tau kamu ingin aku setegar dirimu, hadapi hidup seperti seharusnya.
Semua kepedihan ini pasti akan mampu aku lalui, tentu karena hadirmu yang menopang tegakku.

Terima kasih untuk segala cinta kasihmu
Terima kasih untuk waktu yang selalu utuh ketika bersamamu
Terima kasih untuk senyuman indah yang selalu menenangkan kalbu
Terima kasih untuk nasihat yang tak pernah membuat jemu
Terima kasih untuk do’a yang tak pernah putus teruntai lewat lisanmu

Ma, aku sayang Mama, selalu dan selamanya

Peluk cium,
anakmu yang manja. :)