Selasa, 31 Mei 2011

Selamat Ulang Tahun, Kiara!



Oleh : Defitria Wardhani

“Selamat ulang tahun, Kiara..” Kalimat itu terdengar begitu lirih keluar dari mulutku sendiri.
Lilin berbentuk angka satu dan tujuh berhimpitan manis diatas kue black forest yang tampilannya tak begitu menggugah selera. Kue itu berhasil tampak seperti kue ulang tahun – setidaknya setelah berjam-jam aku memaksa diriku sibuk berkutat di dapur mungilku.
Api yang sebelumnya menghiasi sumbu lilin dihadapanku perlahan musnah setelah satu hembusan panjang dari mulutku mengarah padanya. Yang tinggal kini hanya sisa-sisa asap yang meliuk perlahan dan semakin lama semakin tidak tampak.
Bibirku selesai bersenandung lagu selamat ulang tahun – senandung lembut yang hampir tak terdengar sekalipun oleh telingaku sendiri.
Kuedarkan pandangan berkeliling. Penglihatanku agak kabur terganggu air mata yang menggenang di kelopak mata. Sebingkai figura di sudut ruangan berhasil mencuri perhatianku. Setengah berdiri aku menjulurkan lengan ke arah figura tersebut kemudian meraihnya. Ada tiga orang yang terdapat dalam foto yang dibingkai figura kayu itu. Nampak salah satu diantara ketiga orang di foto itu adalah seorang gadis kecil dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, jepitan warna-warni tampak menghiasi rambutnya yang ikal. Disana, aku duduk  di hadapan kue ulang tahun berlapis cream warna merah muda, diapit laki-laki dan perempuan dewasa di sisiku, tertawa renyah penuh keceriaan dalam foto itu – kentara sekali perbedaannya dengan keadaanku sekarang. Di sudut foto terdapat tanggal kapan foto itu diambil – hampir tujuh tahun yang lalu saat aku masih berusia kurang lebih sepuluh tahun. Tujuh tahun lalu saat keadaan masih jauh berbeda, saat senyuman selalu menghiasi hari-hariku hampir setiap harinya. Tujuh tahun lalu saat apa yang kusebut rumah adalah tempat yang paling nyaman dan damai. Tujuh tahun lalu saat setiap tahunnya selalu ada banyak hadiah dan kue ulang tahun yang lezat selalu tersedia di hadapanku ketika aku membuka mata di pagi hari ulang tahunku.
Aku hampir lupa rasanya bahagia. Imajinasi membawaku terbang ke saat paling membahagiakan dalam hidupku, jelas tergambar disana kue ulang tahun, kado-kado dengan bungkus warna-warni, ucapan selamat, keadaan meriah – semua itu terakhir kurasakan tujuh tahun yang lalu. Sejak terakhir kali foto ini diambil, keadaan berubah begitu signifikan. Tak sampai dua bulan setelah ulang tahunku yang ke sepuluh, pertengkaran besar terjadi antara kedua orang tuaku. Aku yang masih berusia sepuluh tahun kala itu tak benar-benar memahami apa yang mereka permasalahkan.
Yang masih dapat direkam dengan jelas oleh otakku adalah teriakan, makian, air mata Ibu, kemudian barang-barang terlempar ke udara, berhamburan. Aku menyaksikan iu semua dengan sangat jelas. Berkali-kali mereka saling berteriak, memaki dan akhirnya Ayah keluar dari rumah membawa satu koper besar di genggamannya. Suara keras debuman pintu mengakhiri peristiwa yang tidak pernah bisa kulupakan seumur hidupku, bahkan hingga detik ini.

Sejak kepergian Ayah, aku hanya tinggal berdua dengan Ibu. Ibu berusaha menenggelamkan kesedihannya dalam gunungan pekerjaan. Setiap hari beliau berangkat pagi-pagi sekali saat aku belum bangun dan pulang begitu larut saat aku sudah terlelap. Sejak aku masuk SMA, Ibu mempercayakan semua urusan rumah padaku, sehingga menurutnya tak perlu lagi ada pembantu di rumah kami. Toh Ibu juga semakin jarang pulang ke rumah akhir-akhir ini.
Aku memiliki semuanya, kecuali kasih sayang – harga mahal yang begitu tak terbayarkan. Aku hanya ingin menikmati masa remajaku dalam kehangatan sebuah keluarga, namun impianku kian kemari kian terasa mustahil.
Hari ini tepat tujuh belas tahun aku hidup, hampir semua remaja normal begitu menanti-nantikan hari ini. Usia yang semestinya penuh keceriaan, canda tawa bahagia, kegembiraan. Namun semuanya seakan hanya bayangan yang semakin hari semakin kabur dari pandangan.

***
Sesuatu menghentak perutku memaksa untuk keluar melalui kerongkongan. Baru teringat olehku ternyata sejak kemarin belum ada sepotong makanan pun yang mampir di kerongkonganku. Kue ulang tahun dihadapanku sama sekali tidak menggugah selera. Aku nyengir melihat tampilannya yang tidak cantik – membayangkan bagaimana rasa kue yang sejak tadi hanya kupandangi saja tanpa kusentuh.
Sebelum penyakit maag ini bertambah parah, aku memutuskan meraih pisau kecil yang terletak tak jauh dari kue ulang tahun­ku kemudian mulai meletakannya di atas kue itu. Beberapa detik aku kembali melamun, mungkin ada baiknya jika aku mengungkapkan harapanku terlebih dahulu sebelum memotong kue ulang tahunnya.
Satu tarikan nafas panjang kuhirup perlahan namun pasti mengisi rongga dada, kuharap dapat sedikit mengurangi kesedihan yang menyesakkan hati. Aku memejamkan mataku erat, memohon dengan penuh harap. Satu hal yang aku minta pada Tuhan, aku hanya ingin seseorang menemaniku di hari ulang tahunku kali ini, seseorang yang menyayangiku. Amin.
Kusapukan telapak tangan pada wajah sekaligus mengusap air mata yang masih saja setia menggelayuti mataku.

‘Rasanya tidak terlalu buruk’ batinku dalam hati sambil tersenyum ringan. Sudah dua potong kue ulang tahun yang mengisi perutku sekarang, rasa mual yang aku rasakan sebelumnya mulai berkurang. Aku menggeser tubuhku untuk bersandar di sofa, mengambil remote TV kemudian menekan-nekannya beberapa kali. Tak ada channel yang dapat menarik hatiku.
Suara yang keluar dari speaker TV semakin samar-samar terdengar oleh telingaku, mataku perlahan-lahan terpejam. Semalam, aku terlalu sibuk menangis hingga tak sempat mengistirahatkan mataku, kini rasanya berat sekali untuk membuka mata. Semilir sejuk angin menghembus melalui celah jendela seolah membelai kepalaku untuk semakin tenggelam dalam lelap.

***
Semburat sinar jingga menerpa wajahku, memaksa mata untuk terbuka. Aku terhenyak saat menyadari warna langit diluar telah berubah menjadi jingga. Aku ketiduran, bahkan jendela-jendela itu dengan leluasa terbuka begitu saja. Beruntung tidak ada orang yang menelusup masuk ke rumah yang pintunya tidak terkunci, jendelanya bebas terbuka dan penghuni rumahnya tertidur pulas di ruang tengah seperti ini.
Aku menggeliat malas diatas sofa. Masih berusaha menyipitkan mata menghindari kilauan sinar matahari sore yang menyelusup masuk melalui jendela. Malas menyergap, sulit sekali rasanya untuk beranjak dari sofa empuk untuk kemudian menutup jendela-jendela dan mengunci pintu. Namun suara bel rumahku kemudian mengagetkan, hampir membuat aku jatuh dari atas sofa itu. Berusaha menyeimbangkan diri, dengan langkah yang masih tak beraturan aku berlari kecil menuju pintu depan seraya menguncir rambutku membentuk ekor kuda yang berantakan.
Dibalik daun pintu itu berdiri seorang laki-laki yang nampak seusia denganku. Pakaiannya casual, wajahnya asing, namun senyum di wajahnya nampak begitu bersahabat. Aku tak mampu untuk tidak membalas senyum tulusnya itu.
“Hmm, cari siapa ya?” tanyaku hati-hati. Aku memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meyakini diriku sendiri apakah sebelumnya aku pernah melihat orang yang ada di hadapanku kini.
“Kenalin, nama gue Reno” laki-laki itu mengulurkan tangannya ke arahku, senyum bersahabatnya kembali terukir di wajahnya. Kilau matanya tetap kelihatan bercahaya meski terhalang kaca mata yang ia kenakan.
“Ki.. Kia..ra” Jawabku terbata-bata sambil menyambut tangannya – genggaman erat tangannya membuyarkan fikiranku yang masih linglung.
“Gue udah tau nama lo kok, gue Reno yang tinggal di seberang rumah lo”
Mataku membelalak. Tetanggaku? Aku hampir tak pernah memperhatikan keadaan lingkunganku. Selama ini aku memang terlalu sibuk menghabiskan waktu dengan duniaku sendiri. Bahkan aku baru menyadari kalau ternyata aku punya tetangga seramah Reno.
“Baru bangun tidur ya, Ra?” Lagi-lagi ia berkata sambil tersenyum – kurasa laki-laki dihadapanku ini tak bisa bicara tanpa diiringi dengan senyuman.
Aku dapat merasakan pipiku merona. Apakah keadaanku sebegitu buruknya hingga ia tahu aku baru saja bangun tidur. Aku merapihkan baju dan rambutku dengan sikap gugup.
Kali ini Reno tertawa ringan melihat tingkahku “Boleh duduk?” Ia melirik ke arah bangku yang ada di teras rumahku.
Masih dengan wajah bingung, aku kemudian mempersilahkan ia duduk.

Sore itu berlangsung cukup panjang, ternyata Reno adalah benar tetanggaku yang tinggal di seberang rumah. Rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri untuk sikapku yang kelewat tidak acuh pada keadaan sekitar. Reno yang sudah lebih dari enam bulan ini menjadi tetanggaku saja tak pernah aku sadari keberadaannya. Padahal ia saja sudah mengetahui namaku sebelum aku memberitahukannya. Bahkan, yang lebih lucu lagi, ternyata kami ini satu sekolah. Aku tersenyum dalam hati – menertawakan diriku sendiri.
Reno orang yang sangat bersahabat, mudah saja menjadi akrab dengannya dalam waktu yang relatif singkat. Aku bahkan hampir melupakan kesedihan yang menyelimutiku semalaman hingga sepanjang siang tadi.
“Jadi, dari tadi ngobrol-ngobrol, lo belum bilang kenapa tiba-tiba sore ini lo main ke rumah gue”
Reno menepuk keningnya ringan seperti baru saja menyadari sesuatu. Tangannya menggapai-gapai ke bawah kursi, mengambi bungkusan yang sejak tadi ia sembunyikan di bawah sana. Aku tak begitu memperdulikan sebelumnya apa yang ia bawa, hingga kemudian ia menyodorkan bungkusan itu kepadaku. “Selamat ulang tahun, Kiara!” ucapnya riang, lagi-lagi dengan senyuman yang begitu bersahabat.
Alisku bertaut, bolak-balik memperhatikan antara wajahnya yang sumringah dengan bungkusan yang berada di genggamannya. Masih tak yakin apa yang baru saja aku dengar keluar dari mulutnya, darimana ia tahu ini hari ulang tahunku?
“Gue lihat di facebook hari ini lo ulang tahun” jawabnya seperti mampu membaca fikiranku.
Apa?! Bahkan ia sudah tahu akun facebook milikku? Diam-diam aku mencubit lenganku sendiri, mencoba memastikan apakah ini akibat aku tidur terlalu lama di ruang tengah hingga aku mimpi yang ngelantur seperti ini. “Auw!” suaraku tertahan, malu menyadari bahwa sepertinya ini bukan mimpi, karena cubitan di tanganku tadi terasa sakit.
“Kok bengong terus sih Ra dari tadi?” lagi-lagi Reno mendapatiku melamun.
“Lo udah terlalu banyak tahu tentang gue deh, curang. Padahal gue kan baru kenal sama lo hari ini” gerutuku.
Reno hanya tersenyum ringan. “Lo aja yang ngga pernah memperhatikan keadaan sekitar lo. Setiap pulang sekolah, langsung pulang. Kalau sore di rumah, cuma kelihatan waktu lo nyiramin tanaman aja. Gue penasaran kok lo bisa sih tinggal terkurung dalam rumah kayak gitu” suaranya riang.
Aku tersenyum, kali ini mungkin pipiku bersemu merah jambu mendengar ceritanya tentang diriku.
“Gue juga sebulan terakhir ini harus setiap hari ada di rumah, jadi gue bisa ngerasain gimana rasanya jadi lo, dan ternyata ngga enak. Bosen” cengirnya lagi.
“Memangnya ada apa sebulan terakhir ini?” tanyaku ingin tahu.
“Gue lagi dihukum. Gara-gara ketahuan cabut sekolah. Kepergok bokap gue pas lagi nongkrong-nongkrong di pinggir jalan” kenangnya sambil tertawa lagi.
“Untungnya hari ini hukuman gue selesai, jadi gue bisa dateng kesini deh untuk ngasih ini ke lo” sambungnya lagi. Matanya tertuju pada bungkusan yang masih ada di genggamannya sejak tadi. “Buka dong” ia menyodorkan bungkusan itu lebih dekat lagi ke arahku.
Sebuah kotak yang tidak terlalu besar kini sudah ada di genggamanku. Kotaknya terbuat dari bahan karton, sepertinya hasil buatan tangan sendiri. Aku membukanya perlahan. Dua ekor merpati berwujud kayu yang terukir manis bertengger dalam kotak itu. Aku tersenyum melihatnya kemudian memperhatikan wajah Reno yang sepertinya sejak tadi menunggu ekspresiku setelah membuka kado darinya.
“Bagus banget No, thanks ya!” ucapku riang. Rona kesedihan sepertinya sudah benar-benar pudar dari diriku semenjak kedatangan Reno, terlebih lagi saat aku mendapatkan kado darinya – setelah tujuh tahun terakhir ini aku tak pernah lagi mendapatkan bingkisan di hari ulang tahunku. Aku masih terus tersenyum senang sambil memperhatikan lekukan detail kayu yang membentuk rupa burung merpati itu. Ukirannya begitu indah, dan begitu alami.
“Lo suka? Gue buat itu khusus untuk lo Ra..”
Aku mengamati wajahnya mencoba menerka apakah ia hanya bergurau dan ingin membuatku besar kepala saja, namun tampaknya wajahnya kali ini serius – berbeda dari sebelumnya.
“Merpati itu lambang keabadian. Gue harap kita bisa deket terus seperti dua merpati itu” senyumnya kali ini berbeda, tampak lebih tulus dari dalam hatinya.
“Reno, lo kenapa sih? Kita kan baru aja kenal, walaupun lo udah kenal gue lebih dulu sebelumnya, tapi kenapa tiba-tiba omongan lo jadi ngaco gini? Gue jadi takut” aku pura-pura bergidik.
Tawanya pecah dihadapanku.
Keningku berkerut, masih tidak mengerti mengapa tiba-tiba laki-laki dihadapanku ini datang di hari ulang tahunku, memberikanku perhatian layaknya sahabat lama, dan sikapnya yang begitu hangat, membuatku begitu nyaman berada di dekatnya.

“Gue percaya sama yang namanya firasat, Ra. Waktu pertama kali gue pindah kesini dan ngelihat lo, gue rasa kita bakal jadi partner yang cocok. Ternyata firasat gue selama ini ngga berlebihan, toh terbukti dalam waktu singkat aja kita bisa ngobrol banyak kan?” senyumnya kali ini lebih ceria dari sebelumnya.
Aku diam sejenak, tersenyum dalam hati. Mengingat doa yang kupanjatkan sesaat sebelum menikmati kue ulang tahun buatanku.
“Kalau menurut lo ini namanya firasat, buat gue ini keajaiban” ucapku tak kalah riang.
Alis Reno bertaut. “Keajaiban apa?”
“Nanti gue ceritain” janjiku. Aku bergegas kembali ke dalam rumah, mengambil kue ulang tahun yang masih rapih berada di atas meja di ruang TV. dengan senyum pasti aku membawanya ke teras rumahku, tempat dimana Reno – sahabatku  sedang menunggu disana. Aku tersenyum lagi menyadari istilah yang kugunakan untuk menyebut Reno.

“Kelihatannya.. ngga enak” Reno menahan tawanya melihat kue yang ada di genggamanku.
Aku melipat wajah, pura-pura ingin kembali ke dalam rumah untuk mengembalikan kue itu kesana. Tak kusangka, Reno menarik lenganku lembut “Bercanda, Kiara..” senyum tulusnya melelehkan hatiku.
Aku menahan senyum.
Setelah memakan kue buatanku, dengan jahil ia melumuri sebagian besar wajahku dengan cream kue. Setelah itu, kami jadi perang saling serang dengan cream kue yang tersisa. Kami berkejaran di halaman rumah sambil tertawa-tawa lepas – nampak seperti dua orang bocah kecil yang baru pertama kali merayakan hari ulang tahun. Aku tak perduli jika ada tetangga lain yang melihat betapa kekanakannya kami, hari ini saja, aku begitu nyaman bersikap kekanakan seperti ini.
“Selamat ulang tahun, Kiara!” ujarku dalam hati, namun kali ini dengan intonasi yang berbeda – jauh lebih riang dibandingkan suasana hatiku siang tadi.

Mulai sekarang, aku meyakini hatiku bahwa aku takkan pernah merasa sendirian lagi, hari-hariku di sekolah, sore hari yang biasanya terasa amat panjang akan dapat dengan mudah aku lewati jika bersama Reno.
Sejak hari itu, hampir setiap hari kami berangkat sekolah bersama. Sore harinya, kami mengerjakan PR dan bermain sepeda berkeliling komplek sesekali.
Reno benar-benar seperti jawaban dari kesendirianku selama ini. Reno, adalah kado terindah yang dikirim Tuhan setelah tujuh tahun penantian yang terasa amat panjang ini.

***

Jumat, 20 Mei 2011

Starting Point


When will you feel that you have to start something?
When will you decide in one point you feel that your life was bored and need something different?

In that situation you must be hate your life, wanna scream loudly and tell to everyone that you are always there but they can't feel it.

Changing. You really need that change.
If you ask "when" the best time to change, the best answer is you have to change NOW.

The person who can decide when the starting point begin is YOU. yeah, yourself. There is no aother person will know you better than your self.

And now, i'm trying to decide, from now this is my starting point to change.
it must'nt be as simple as i can imagine.
But that can't be the reason to make me stop.

Change your own life. Do something different. And reach your dream start from a simple thing. Cheer up! :')

Rabu, 18 Mei 2011

When You Lost Your First Love 2 (My Third Book)


Setelah Pelangi Lima dan E-Love Story #20, kini sudah terbit antologi cerpen ke-3 hasil karyaku yang bertajuk "When You Lost Your First Love"

Antologi ini merupakan kumpulan kisah nyata bagaimana seseorang kehilangan cinta pertamanya.

Tak  berbeda dengan kisah-kisah lain dalam buku ini, kisahku yang ada di urutan keempat dalam buku ini merupakan kisah nyata yang aku rasakan ketika mengecap warna-warni cinta pertama.

Berikut penggalan kisahnya..

Orang bilang, cinta di usia remaja itu cinta monyet, namun aku tak pernah sependapat dengan pernyataan itu. Aku dan Andika menjalani hubungan kami yang menurutku sudah termasuk dalam kategori pacaran pada saat itu. Yang terpenting ia sudah menyatakan cintanya kepadaku, begitu pula dengan aku. Kami menjalani kedekatan itu selama dua bulan pertama. Namun rasanya tak seindah yang ada dalam imajiku. Aku fikir cinta adalah bahagia, cinta adalah kasih, namun ternyata yang aku rasa, cinta adalah air mata. 
Lebih dari enam puluh hari terlewatkan, hari dimana senyum bisa terlukis di wajahku bisa terhitung oleh jari. Selebihnya air mata dan kegundahan sangat akrab kurasakan dalam tiap menit ku di malam-malam yang harus kulalui. Menunggu mataku yang sembab mampu mengatupkan kelopaknya, membasahi lembaran buku buku harian ku dengan air mata. Aku belum siap untuk apa yang kusebut cinta. Ternyata setelah menyatakan cintanya kepadaku, Andika tak bersikap seperti yang aku angankan layaknya kisah romeo juliet dalam legenda, atau pasangan barbie dan ken yang melewati hari mereka penuh cinta. ‘pacaran’ yang kurasakan dengannya hanya sebuah hiasan status yang semu.
Aku benar-benar merasakan kebahagiaan itu hanya ketika pagi di tanggal 8 maret 2002 itu. Selebihnya, aku hanya mampu melantunkan rindu, cinta dan kasihku dalam tiap lembar buku harian ku. Apakah begini rasanya cinta? Kemana bayang-bayang bahagia yang aku impikan sekian lama? Mungkin benar, cinta tak selalu bahagia.

Bagaimana lanjutan kisahku dengan Andika? (nama sengaja disamarkan)
Apakah akan berakhir bahagia, ataukah harus terkubur dalam penggalan kisah masa lalu saja?


Yang penasaran lanjutannya, silakan order ke nulisbuku.com. Cerpen ini ada di buku 2 When You Lost Your First Love. Pemesanan buku-buku When You Lost Your First Love ini dapat melalui email, kirim ke defitriaw@ymail.com. Harga buku @Rp 35.000,- (Belum termasuk ongkos kirim)

Format Email-nya seperti ini:

Subject: Order Buku When You Lost Your First Love

Isi:
nama penerima:....
Alamat lengkap: ….
nomor telepon: …
Harga buku : ….
jumlah buku: ….


Selain Kisah cinta pertamaku, masih ada kisah-kisah cinta pertama lainnya yang mungkin mirip dengan kisah cinta pertama yang pernah kamu alami :) 

Pesan yang banyakkk yaaa :)

Minggu, 15 Mei 2011

A Sense of Writing..



Kesedihan, kehampaan, dan kesendirian.
Selalu tiga hal itu yang mampu membuatku menulis tanpa batasan
Setiap manusia punya caranya sendiri untuk mengungkapkan rasa,
Namun menulis adalah cara yang paling luar biasa

Tanpa batasan, kamu akan selalu merasa lebih baik setelah menuliskan segala yang tak mampu terucapkan
Tanpa batasan, tak ada yang mampu memberhentikan hasratmu untuk menulis segala yang memenuhi hati

Menulis adalah nafas bagiku
Menulis membuat hatiku lebih baik
Menulis menjadi satu-satunya teman pelipur lara, bahkan disaat tak seorangpun mampu menyembuhkan laramu.
Menulis lebih dari sekedar hobi ataupun kesenangan
Ia seperti menyatu dalam jiwa. Menemani sekaligus menenangkan.
Segala yang tertangkap oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terasa oleh hati akan dapat menjadi objek tulisanmu.
Menulis takkan ada batas dimana kau merasa harus berhenti.
Yang ada hanya panggilan untuk kembali menulis dan menulis kembali.
Takkan pernah ada kata berhenti.

Tak perlu untaian kata indah yang kau goreskan,
Cukup ketulusan yang kau tuangkan lewat kata, maka hasilnya akan nikmat terbaca siapa saja.
Menulis adalah sahabat yang setia mendengarkan, mengobati kesedihan, dan menciptakan kebahagiaan dalam satu waktu yang sama.
Menulis merupakan media terindah yang Tuhan ciptakan untuk menggambarkan segala yang ingin kau perlihatkan pada orang lain.
Aku tak pernah ingin berhenti menulis, apapun, kapanpun, dan dimanapun.
Ini bukan bakat apalagi talenta.
Ini sesuatu yang luar biasa namun dapat dimiliki siapa saja.

Menulis adalah keindahan
Menulis adalah lukisan
Menulis adalah goresan
Menulis adalah tanda tanya
Menulis adalah rasa
Menulis adalah kata
Menulis adalah cerita
Menulis adalah cinta
Menulis adalah cita-cita
Menulis adalah ....

Takkan pernah cukup ribuan kata untuk mendefinisikan makna menulis sesungguhnya.
Yang pasti, menulis adalah ... kamu.
Ia ada dalam dirimu, yang membuat berbeda adalah mau atau tidak kamu mengeluarkannya dari perangkap keragu-raguan, kemalasan, dan ketidakpercayaan.
Jangan pernah takut, malu ataupun ragu.
Percayalah, menulis adalah keajaiban yang tak dapat terperikan.
Ia luar biasa.
Ambillah alat tulismu, atau duduk di hadapan komputer atau laptopmu sekarang, dan
Menulislah, mulai dari saat ini..

Senin, 09 Mei 2011

Malaikat Bersayap

kapan kamu akan merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan?
kapan rasa sakit ini berubah menjadi kebas?
aku lelah menunggu kamu membalasnya,
menghilangkannya mungkin akan jauh lebih mudah.

***

aku merindukan malaikat pelindungku.
aku tau ia menanti dibalik awan mendung yang menggelayut itu
aku percaya ia selalu memperhatikanku dalam diam,
menghangatkanku, mengarahkan sinar mentari ketika aku kedinginan,
mengarahkan awan mendung ketika aku ingin merasa teduh,
menyiramiku dengan butiran hujan ketika aku rindu dibelai olehnya.

aku rindu malaikat indah bersayap putih,
aku rindu ikut terbang bersamanya membelah langit.

dunia ini terlalu menghadiahiku banyak rasa sakit, tanpamu
malaikat bersayap, kamu dimana?
tak inginkah kamu menampakkan rupamu nan rupawan?
berhentilah sembunyi dibalik awan teduh yang memanjakan itu
aku membutuhkan nyatamu disini, bukan lagi sekedar ilusi kosong tanpa makna

malaikat bersayap, aku menantimu,
jika nyata terlalu muluk, aku akan menantimu dalam pejaman mata saja
bagiku cukup untuk sedikit mengeringkan luka besar yang menganga ini.
hadirlah malaikat bersayap, aku menantimu, malam ini, dan malam-malam berikutnya.

Rabu, 04 Mei 2011

Aku dan Siput


Courtessy : Youtube

Memotivasi, membuat kita merefleksikan diri.
mengajak kita bersyukur dan berfikir positif akan apa yang kita alami dalam hidup
 Everything happens for a reason
there is no coincidence
saya paling suka kata-kata itu.
semoga bisa memotivasi kita semua.
agar terus kuat menghadapi kehidupan ini :)

video ini saya dapatkan dari temen saya Riefni Riftianingrum.
dia dapat ini dari Ibunya, kalo ngga salah dari training apaa gitu :)

videonya bagus, cuma ingin sedikit berbagi ke teman-teman :)
happy watching! ;)

Minggu, 01 Mei 2011

Bayangan - Edited


 Oleh : Defitria Wardhani

Aku merindukan dia. Sosok tegap dengan bola mata tajam yang seringkali bertautan dengan bola mataku. Senyum manisnya masih tergambar jelas di memoriku. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk menghabiskan waktu bersama, mengetahui segalanya, hingga ke hal-hal kecil tentang dirinya, apa saja yang ia sukai dan ia benci. Aku tahu, bahkan hafal betul semuanya. Namanya Angga. Dia kekasihku. Dulu. Aku menghabiskan lima tahun bersama, berjuta mimpi kami tautkan bersama. Rasanya masa depan bukanlah hal yang sulit jika kami melewatinya bersama.
Kini tepat 24 bulan berlalu sejak terakhir kali aku merekam kenangan akan sosok indahnya di hadapanku. Detik demi detik, menit demi menit, setiap hentakan jarum jam dan waktu yang kulalui terasa melambat dan semakin sulit dan menyempit menghimpit rongga dada.
Malam ini seperti biasanya untuk kesekian kali hal yang sama aku ulangi, lagi dan lagi. Aku pejamkan mata, dan kemudian sosoknya semakin tampak nyata. Bola mata khasnya memandangku tajam namun penuh cinta. Aku bisa merasakan air mukaku berubah, menggambarkan raut kebahagiaan. Hatiku bergejolak, gembira menyambut kedatangannya. Aku berdiri, dengan cepat menyerbu dadanya yang bidang yang seakan terbuka menyambut ku. Ku tumpahkan segala rasa rindu yang sejak tadi memenuhi hati dan fikiranku. Aroma tubuhnya menyeruak masuk ke dalam rongga hidung, membuat ketenangan dalam diriku bertambah dalam.
“Angga, aku rindu kamu” bisikku lirih
Dia tersenyum teduh memanjakanku. Belaian lembut jemarinya seakan membiusku. Bersandar di pelukannya adalah hal yang paling aku sukai. Dadanya bidang dan selalu bisa membuatku merasa nyaman ada di sana. Ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku paham benar apa yang akan terjadi setelah ini. Tentu saja, ini rutinitas yang hampir terjadi setiap malam-malam ku.

Nafasnya menghembus di wajahku. Perlahan dan masih beraturan. Namun kemudian semakin cepat menerpa wajahku. Kami melakukannya dalam diam, disirami remang cahaya lampu kamarku yang menambah romantisme malam kami.
Cahaya lampu terasa semakin meredup, kemudian sosoknya pun perlahan memudar ditelan keremangan. Angga menghilang dari pandangan ku, meninggalkanku yang masih terbaring di atas tempat tidur. Aku tersenyum. Mengusap peluh yang menghiasi kening ku. Aku beranjak dari tempat tidurku, meraih pakaian tidurku yang tergeletak di lantai kamar. Ku balut kembali tubuhku yang bugil setelah dilucuti oleh Angga tadi. Kami terbiasa melakukan hal itu sekejap, namun tetap sangat berarti bagi ku. Setidaknya mengobati kerinduanku akan sosok Angga, meski hanya sesaat.

***

Pintu kamar perlahan terbuka. Muncul sosok lelaki tampan dengan pakaian kerja lengkap. Kacamata yang menambah ketampanannya ia letakkan di atas tempat tidur. Langkah demi langkah ia semakin mendekatiku. Tergambar senyuman di wajahnya.
“Kamu belum tidur sayang?” ia membelai rambut ku lembut dan penuh kasih.
Bola mataku berputar melirik jam di dinding. Jarum panjang dan pendeknya sama-sama berhimpitan menunjuk angka 12.
“Maaf ya. Aku lembur lagi tadi. Aku kangen banget sama kamu”
Sosok laki-laki itu kini sudah ada di pelukanku, menghangatkan tubuhku yang memang terasa dingin. Tatapanku masih kosong, tanganku menegang.
Laki-laki di pelukanku kemudian seperti menyadari ketidaknyamananku berada di pelukannya. Ia melirik tanganku yang menggenggam sesuatu. Ia mengambilnya, mengambil Angga dari genggamanku.
“Angga lagi?” tanyanya melemah ketika mendapatiku menggenggam Angga. Angga yang bagi orang lain hanya ada dalam selembar foto, namun aku menganggapnya nyata. Dan memang itu yang aku rasakan. Angga yang selalu menemaniku di setiap malam-malam menunggu laki-laki ini. Yang sedang ada di hadapanku sekarang.
“Sudah dua tahun. Aku mohon, biarkan dia tenang disana” lanjutnya lagi.
Apa? Tenang apa? Disana? Angga tinggal di dalam hatiku. Dia tak pernah pergi kemana-mana. Dan aku yakin Ia selalu tenang disini. Di dalam rongga dadaku. Mengaliri tiap aliran darah ku, menjadi nafas untuk hidupku.
“Asya istriku.. aku sayang kamu Sya. Aku yakin kamu bisa bangkit dari keadaan ini” ia tak henti-hentinya mendekapku, seakan mencoba memberikan kekuatan untuk ku. Namun bagi ku sia-sia, hanya Angga yang bisa menguatkanku. Hanya Angga. Tak ada yang lain.

Ia mengecup ringan keningku. Kemudian menuntunku menaiki tempat tidur Kami. Di kamar kami. Di rumah kami. Rumah yang hampir genap satu tahun kami tinggali setelah kami resmi menikah. Namun hanya ragaku yang dinikahi oleh Bagas, tetapi hati dan jiwaku tetap bersama Angga. Tetap mencintai Angga.
Mungkin orang menganggap Bagas gila. Ia masih mau menikahiku meski semua orang kecuali keluargaku menjauhi ku. Aku berubah, tak bercahaya lagi setelah kejadian 24 bulan yang lalu. Kejadian dimana takdir mengambil Angga dari sisiku dalam sebuah kecelakaan mobil. Namun hanya raga Angga yang ia ambil. Namun jiwa dan cinta Angga masih kurasakan menemaniku hingga sekarang dan selamanya, aku yakin itu.
Bagas memelukku di atas tempat tidur kami. Ia memejamkan matanya namun tak melepaskan dekapannya dari tubuhku. Aku menatapnya, mencoba meresapinya dalam, namun tetap saja terasa hambar, tak seperti ketika aku menatap wajah Angga. Aku pun kemudian mulai memejamkan mataku. Kemudian perlahan sosok Angga kembali nampak nyata. Angga selalu hadir disetiap aku mulai memejamkan mataku. Aku sangat menikmati saat-saat mataku terpejam. Karena hanya pada saat-saat itu aku dapat melihat sosok Angga dengan nyata.
Angga tersenyum padaku penuh cinta, aku menikmati sebagian hidupku, hidup di saat aku memejamkan mataku. Hidup dimana aku bisa bersama Angga, orang yang paling aku cintai. Aku tak peduli, meski hanya dalam bayangan, namun ia lah yang paling aku cintai. Di sela-sela doa yang aku panjatkan, aku berharap Tuhan mengizinkanku untuk terpejam seperti ini selamanya. Agar aku tak hanya bisa mencintai bayangan Angga. Aku ingin ada di dunianya, aku ingin kami tinggal di satu dunia yang sama. Aku ingin hidup bersama Angga setiap saat, bukan hanya ketika aku memejamkan mata. Dunia ketika aku memejamkan mata terasa begitu nyaman dan memanjakan. Meski menurut orang lain adalah dunia bayangan, sesungguhnya inilah dunia yang aku idamkan.

Aku mencintai bayangan, dan aku tak pernah memperdulikan itu. Bagi ku, Angga selalu hidup disini, di dalam hatiku. Angga adalah nafasku, Angga adalah nyawa ku, aku tak pernah ingin jauh darinya. Aku akan selalu ikut kemana Angga pergi. Hanya menunggu waktu, aku yakin suatu saat nanti aku akan tinggal selamanya di dunia dimana Angga tinggal. Sambil menunggu waktu itu, aku akan selalu menyimpan Angga dengan baik di dalam rongga dada ku, menemani hari-hariku. Mencintai bayangan Angga jauh lebih indah dibandingkan aku harus memaksakan diriku untuk hidup bersama Bagas, orang yang tak pernah seutuhnya aku cintai. Bagas tak ubahnya seperti dinding besar yang melindungiku dari cercaan orang lain yang menganggap ku tidak waras. Aku memang mencintai bayangan. Tak perduli apa yang akan dikatakan orang lain tentangku. Karena aku temukan kedamaian ku sendiri. Ketika aku bercinta dengan bayangan.