Jumat, 07 Maret 2014

Jodoh

Pernah kefikiran nggak siapa jodoh kamu kelak?
Pernah kebayang nggak kalau ternyata jodoh kamu adalah orang yang (tanpa sadar) kamu temui setiap hari di moda transportasi massal yang rutin kamu tumpangi tiap paginya.


Aku mengimani teori itu sekarang.

Tau kan moda transportasi massal yang paling diminati karena harga tiket yang flat (Rp 3,500) ke jurusan manapun yang kamu mau?
Bahkan kalau berangkat lebih awal (sebelum jam 7 pagi), penumpang hanya perlu membayar tiket seharga Rp 2,000
Aku adalah satu dari sekian banyak penumpang setia dari moda transportasi ini.
Tahun 2014 ini adalah tahun ke enamku mengakrabi tiap detailnya.
Berdiri berjam-jam, turun dan berganti armada karena mesinnya seringkali mogok di tengah perjalanan, mengakibatkan macet dan masing-masing penumpangnya seringkali terlambat sampai di tujuan.


Fikiranku menerawang ke kejadian menyenangkan pagi tadi

Mengapa kusebut itu menyenangkan? karena hingga detik ini pun aku masih senyum-senyum sendiri saat mengingatnya.
Ya, seperti rutinitasku setiap pagi, ini adalah hari terakhir dalam satu minggu yang selalu dinanti-nanti kedatangannya. Hari Jumat berarti tinggal menghitung jam menuju weekend, yang berarti bebas dari rutinitas kantor.
Pagi itu antrian di shelter Ragunan cukup ramai, malah bisa dibilang jauh lebih ramai dari biasanya. Aku mendengus, melirik pergelangan tangan kiriku tempat melingkarnya jam yang menunjukkan angka 07.23.
Kalau bis tak kunjung datang, aku bisa terlambat. Padahal aku ada jadwal meeting dengan client sebelum makan siang.
Tapi berfikir untuk menaiki moda transportasi lain pun tak akan membantu.
Kopaja? pasti penuh sesak
Taxi? aku bisa sampai 2 jam lebih lama dibandingkan aku naik transjakarta
Ojek? mana mungkin??! bisa hancur dandananku sampai di kantor nanti, project ku tak akan goal karena client yang sama sekali tidak tertarik melihat penampilanku untuk presentasi di hadapan mereka.
Aku melirik kakiku yang dibalut sepatu heels pagi ini. Sambil merutuk dalam hati, mengapa aku lupa membawa sendal jepit agar tak perlu tersiksa dalam antrian panjang seperti ini.

Sekitar 48 menit kemudian aku berhasil masuk ke dalam bis yang siap mengantarku sampai ke kantor.
Aku menghela nafas lega karena meskipun harus berdiri, setidaknya pendingin udara yang terdapat dalam bis ini bisa membuatku sedikit lebih nyaman.
Aku berdiri di dekat pintu belakang bis, karena untuk maju ke bagian depan (tempat area khusus wanita) rasanya sudah tidak mungkin. Aku menghela nafas lagi, yasudahlah, akhirnya aku memilih menyandarkan tubuhku di pintu belakang bis agar bisa sedikit mengistirahatkan betisku yang mulai mengencang.
Tiba-tiba, Eh, ada yang menyenggol pundakku. Awalnya kuanggap orang itu tak sengaja menyenggolku karena keadaan bis yang penuh sesak.
Eh, dia menyenggolku lagi, kali ini lebih sering. Dengan malas aku membalikkan tubuh ke arah barisan kursi paling belakang itu.
Seorang laki-laki dengan kemeja warna abu-abu, lengkap dengan celana bahan khas orang kantoran. Dia tersenyum, padaku? eh.. tadinya aku ingin melihat ke belakangku, siapa tahu ternyata ia tersenyum pada orang lain di balik pundakku.
Tapi ternyata dia berdiri dan memberikan kode dengan tangannya untuk mempersilahkan aku duduk, menggantikan tempatnya sebelumnya.
Aku masih melongo, tapi buru-buru duduk sebelum bangku itu ditempati orang lain.
Aku menggumamkan kata terima kasih yang mungkin tidak begitu didengarnya.
Laki-laki yang baik hati itu kini berdiri tepat di depanku. Ya, tentu saja itu karena tidak ada tempat lain untuk berdiri selain tempatku berdiri sebelumnya. Kini kami berdua seolah bertukar posisi.
Bis pagi ini penuh sesak, semua orang berebut menaiki bis yang aku tumpangi ini karena khawatir bis yang selanjutnya akan datang lebih lama lagi.

Bis mulai meninggalkan shelter.
Aku duduk memeluk tas tanganku, membuang pandangan ke jendela, namun sesekali iseng curi-curi pandang ke laki-laki yang ada di hadapanku.
Wajahnya sepertinya tidak asing, fikirku.
Laki-laki itu kini berdiri memeluk tas ranselnya yang diletakkan di depan tubuhnya sambil sibuk menekan-nekan ponsel di tangannya. Dari tempatku duduk aku bisa mendapati dia sedang membuka laman berita detik.com atau semacamnya.
Ah, aku mulai mengantuk. Baru ingat bahwa semalam aku memang tidur agak larut karena harus menyelesaikan slide presentasi yang akan aku sajikan ke client hari ini.
Aku menyenderkan kepalaku ke jendela dan perlahan-lahan mulai memejamkan mata...

***

Rasanya sudah cukup lama aku tertidur, itu pertanda bahwa shelter tujuanku sudah dekat.
Aku memaksa mataku yang seolah masih lengket untuk segera terbuka. Pemandangan yang aku lihat pertama kali adalah mobil-mobil berjejer di luar jendela, kemudian aku memutar kepalaku dan menyadari ini belum sampai setengah perjalanan.
Astaga, ini macet total namanya!
Aku melirik pergelangan tangan kiriku lagi, sudah satu jam ada di dalam bis ini, seharusnya aku sudah duduk manis di meja kerjaku. Tapi sekarang aku masih terjebak di tengah kemacetan kota sejuta pesona ini.
Pesona apanya? sejuta mobil Iya!

Aku merogoh tas tanganku dan mencari-cari ponselku di dalamnya. Ponsel itu terus bergetar sejak tadi. Pasti bosku sudah tidak sabar menunggu kedatanganku. Begitu aku menggenggamnya, benar saja.. nomor telpon kantor tertera disana
"Halo Pak.. Iya Pak, Saya masih di... Oh begitu, syukurlah.. Baik terima kasih Pak"
Aku menghela nafas lega, ternyata bosku memberitahu bahwa si client juga terjebak macet dan meeting dengan client diundur setelah makan siang. Syukurlah ...

"Perhatian kepada seluruh penumpang..."
Aku menaikkan kepalaku mencoba mencari suara dari mas-mas-penjaga-pintu-busway 
Lengkap sudah cerita pagi ini, ternyata bis yang kutumpangi mogok dan seluruh penumpang diminta pindah ke bis lain yang akan datang selanjutnya. Ini berarti kami harus melompat ke bis lain yang akan mengangkut kami. APA?! Melompat???
Aku melirik kakiku yang terbalut heels warna salem itu. Ah, bagaimana aku bisa melompat ke bis seberang dengan sepatu yang tingginya 9 cm ini?
Aku benar-benar menyesal mengapa aku tak memakai flatshoes saja pagi ini? Huh.
Bis yang akan mengangkut kami datang. Kami berdiri menanti giliran untuk melompat ke bis seberang itu. Beberapa orang berhasil melompat, dan Ah.. sekarang tiba giliranku. Di bis seberang sana memang sudah menanti petugas transjakarta yang akan bersiap menolong penumpang untuk melompat pindah, dan berjaga-jaga untuk menahan tubuh penumpang jika penumpang itu sampai.... buk!
ah siaaal... jarak bis nya memang terlalu jauh, sehingga aku pun harus benar-benar melompat. ya, melompat!
Aku memejamkan mata, menahan malu untuk menyadari aku jatuh terduduk di tengah orang banyak.
Tapi.. ah, sepertinya aku tidak dalam posisi duduk, aku masih berdiri, bersandar pada.... eh? laki-laki yang memberiku tempat duduk tadi?