Senin, 17 Oktober 2011

40 hari

"Diikutsertakan dalam LMCR 2011, tapi belum beruntung ternyata. Salut untuk para pemenang, semoga suatu saat bisa menjadi pemenang juga seperti kalian. Saya masih butuh banyak belajar.. :)"


Oleh : Defitria Wardhani

Beberapa bulatan tinta merah terang melingkar di kalender kamarku. Jika kuhitung jumlahnya sekiranya ada 40 bulatan merah. Bulatan yang paling besar aku buat di tanggal 25 Mei. Tanganku dengan mantap telah menandai tanggal itu sejak lama. Entah mengapa yang kupilih adalah tanggal 25 Mei, tepat satu hari sebelum hari ulang tahunku. Hidupku belakangan ini sedang benar-benar kacau, hampir berantakan malah. Tubuhku seringkali menabrak benda-benda ketika berjalan, aku baru tersadar ketika kemudian ditegur orang yang aku tubruk bahunya, atau dalam keadaan yang lebih parah, aku akan tersadar ketika sudah benar-benar jatuh tersungkur.
Ironis. Seperti itulah hidupku sekarang, berusaha mengingat-ingat apa penyebab semua ini namun aku tak bisa mengingatnya. Sel-sel otakku kurasa sudah hampir berhenti bekerja, sudah mati rasa mungkin. Beruntung aku masih mampu mengingat hal-hal dasar seperti siapa namaku dan informasi mendasar lain mengenai jati diriku. Singkat kata, aku tak ubahnya seperti mayat hidup sekarang.
Mataku kembali terpaku pada bulatan merah yang melingkari tanggal 25 Mei pada kalender kamarku. Hari ini tanggal 15 Mei – aku menghitung maju satu per satu. Berarti hari ini tepat sepuluh hari sebelum tanggal yang begitu menghantuiku beberapa waktu terakhir ini. Sepuluh hari sebelum tanggal 25 Mei. Lama kutatap lingkaran merah itu, kemudian tubuhku gemetar – bukan karena kedinginan. Aku bergidik, menggeleng cepat untuk mengusir fikiran yang mengganggu di benakku.

Hari-hari biasanya akan terus berlangsung membosankan, takkan ada bedanya dengan hari ini. Setelah seragam putih abu-abu sempurna melekat di tubuhku, aku menatap cermin, memastikan aku tidak melupakan sesuatu yang fatal. Setidaknya aku sudah memakai kemeja, rok, dan kaus kaki. Kulirik rak sepatu di pojok kamarku, kemudian memilih flat shoes abu-abu yang mulai tampak kusam. Untuk memaksa diriku tetap hidup saja sudah merupakan hal yang sangat sulit, jadi mencuci sepatu sama sekali bukan prioritas hidupku.

Gambaran lingkaran merah besar di tanggal 25 Mei itu begitu menguasai fikiranku. Bahkan ketika sekarang ragaku sedang berada dalam kelas pelajaran bahasa Indonesia. Ya, hanya ragaku yang tinggal, fikiranku melayang entah kemana, namun tetap menangkap satu gambar nyata dalam benakku yakni gambaran lingkaran merah itu.
“Ferra, sudah sebulan ini kok kamu jadi pendiam sih? Ngga seperti Ferra yang biasanya deh, kenapa?” sebuah tangan menyenggol pundakku kemudian seperti mengembalikan jiwa yang sebelumnya pergi tanpa pamit pada ragaku.
“Sheila” hanya senyum yang bisa aku hadiahkan padanya, Sheila adalah teman sebangkuku. Aku bahkan tidak mendengar apa yang tadi ia katakan padaku, jadi akan lebih tepat jika aku hanya diam sambil tersenyum seperti sekarang ini.
“Kamu kenapa Ferra?” kali ini suaranya sengaja dipelankan. Bu Vega sedang memperhatikan ke arah kami. Beliau meminta Tio – teman yang duduk di belakangku untuk mengambilkan sesuatu di ruang kerjanya. Kemudian Bu Vega kembali asyik mengukir tulisan indahnya di papan tulis. Belajar bahasa Indonesia dengan Bu Vega hampir terasa seperti belajar ala anak sekolah dasar. Ia selalu saja asyik mencatat di papan tulis, dan membiarkan kami asyik sendiri dengan kegiatan kami masing-masing. Siapa yang tahan mencatat sampai berlembar-lembar setiap harinya?
“Aku ngga kenapa-kenapa Sheila, memangnya aku kelihatan aneh?” mataku mengerling berusaha menggodanya.
“Iya” kepalanya mengangguk cepat.
Raut mukaku berubah muram, ternyata selama ini orang-orang disekitarku juga merasakan keanehan dalam diriku.
“Tuh kan sedih lagi..” kali ini Sheila menepuk pundakku penuh kasih. Aku menyerah untuk tidak mengatakan yang sejujurnya hal yang aku rasakan kurang lebih 30 hari terakhir ini, dan Sheila adalah orang pertama yang berani menanyakan apa sebenarnya yang terjadi padaku.
“Nanti jam istirahat aku ceritakan” janjiku. Aku berusaha menyalin barisan tulisan yang sudah hampir memenuhi papan tulis di muka kelas.

***
Aku tak mungkin bisa mengingkari janjiku. Seusai kelas bahasa Indonesia, Sheila terus membuntutiku, bahkan menungguiku ketika aku melakukan kegiatan di toilet. Temanku yang satu ini ternyata jauh lebih perhatian dari yang aku sadari selama ini.
“Sambil makan ya Fer ceritanya, mukamu pucat tuh, pasti belum sarapan tadi pagi ya?”
Aku hanya kembali dapat membalas perhatiannya dengan senyuman.

“Waktunya tinggal sepuluh hari lagi Shei” keluhku sedih mengakhiri penjelasan panjangku tentang keadaan diriku selama 30 hari terakhir ini. Kerongkonganku seperti tercekat saat mengucapkan kalimat barusan. Aku benar-benar baru pernah mengungkapkan apa yang selama ini memenuhi hati dan fikiranku pada orang lain. Selama ini aku repot menutupinya sendirian, aku terlalu khawatir masalahku ini hanya akan membuat orang lain malas mendengarnya. Imajinasiku terlalu liar, dan tidak semua orang dapat mengerti keadaanku yang satu itu. Tak kusangka ternyata Sheila mampu memahaminya. Kebanyakan dari sesi curhatanku kali ini, ia lebih banyak diam dan serius sekali mendengarkan, padahal selama ini teman-temanku yang lain hanya akan menganggap ceritaku sebagai angin lalu, sehingga aku memutuskan untuk memendam semuanya sendiri saja. Sheila begitu berbeda, dan aku sedih sepertinya terlambat menyadarinya.
“Kenapa kamu bisa buat kesimpulan kayak gitu sih Fer? Umur manusia mana ada yang tahu?” wajahnya cemas memperhatikan keadaanku.
Aku begitu lemah, benar-benar sama sekali tak punya semangat hidup. Aku tak pernah menyadari kapan awalnya ini terjadi. Namun, selama ini aku selalu dapat mengandalkan perasaanku yang seringkali benar. Entah indera ke-enam atau apa namanya, namun aku begitu kuat merasakan hal yang satu ini. Terlalu percaya pada banyak mitos, aku jadi tersiksa dengan hidupku belakangan ini. Dua mitos yang begitu kuat mempengaruhi hidupku 30 hari terakhir. Pertama, mitos bahwa orang akan menyadari kematiannya di 40 hari sebelum hari itu tiba. Kedua, orang seringkali meninggal di hari-hari menjelang hari ulang tahunnya. Aku meringis mengingat kedua mitos yang menghantui fikiranku belakangan ini.
“Aku ngerasa ngga hidup sudah hampir satu bulan ini Shei” Aku sengaja menekankan kata hidup dalam intonasiku.
“Maksudmu apa sih Ferra?” Sheila mulai marah mendengar omonganku yang mungkin sudah kelewatan menurutnya, namun itulah yang benar-benar kurasakan sebulan terakhir ini.
Aku memain-mainkan garpu di tanganku dan mengacak-acak makan siang yang terhidang di hadapanku.
“Dimakan Ferra, nanti kamu sakit” ucap Sheila masih dengan penuh kesabaran. Aku melihat wajah cemasnya dari balik bulu mataku.
“Ferra, kamu pernah fikirin perasaan Ibu kamu kalau kamu terus-terusan kayak gini?” Kalimat yang dilontarkan Sheila membuat dadaku sakit mendengarnya. Aku menjatuhkan garpu yang sejak tadi tidak sepenuhnya aku genggam. Bayangan wajah Ibu seketika itu juga nampak begitu nyata, seperti benar-benar sedang berada di hadapanku sekarang. Wajahnya tampak sedih dan cemas, tak kalah cemasnya dengan wajah Ferra. Belakangan ini aku memang hanya benar-benar memikirkan diriku sendiri dengan segala kegundahannya. Aku hampir melupakan orang tuaku, juga sahabat seperti Sheila yang ternyata jauh lebih memperhatikanku tanpa pernah aku sadari.
Terlintas kilasan-kilasan gambar kenanganku bersama Ibu. Selama ini beliau begitu menyayangiku dengan sepenuh hatinya. Sebulan terakhir ini ketika aku jadi jauh lebih pendiam dari biasanya pun Ibu tetap telaten memperhatikan keadaanku. Perasaan ngeri menjalar ketika imajiku liar berfikir bagaimana rasanya tak lagi bersama Ibu – bagaimana rasanya jika aku benar-benar mati seperti yang aku cemaskan akhir-akhir ini. Apakah aku akan kesepian di alam sana? Aku tidak tahu seperti apa rupanya raut wajahku sekarang, yang bisa kurasakan hanya butiran air yang sedikit hangat meluncur di kedua belah pipiku. Bola mataku ikut merasa panas seiring makin banyaknya air mata yang mengalir keluar.
Sheila beranjak dari tempat duduknya, ia kini sudah ada di sisiku, merangkul erat pundakku dan berupaya sebisa mungkin tidak menarik perhatian orang-orang di sekitar kami. Beberapa pasang mata memperhatikan namun kemudian tidak begitu memperdulikannya. Sheila membimbingku menuju taman di belakang sekolah, tempat yang setidaknya lebih baik karena tidak ada banyak mata yang bisa merekam drama tangisanku siang ini.

“Memangnya banyak peristiwa yang membahayakan jiwamu yang terjadi akhir-akhir ini?” Sheila seperti mencoba membaca fikiranku.
Aku diam sejenak, lalu menggeleng lemah.
“Lantas apa yang membuatmu berfikir bahwa kau akan mati?”
“Mimpi-mimpi buruk yang hampir setiap hari menghantuiku, dan perasaan yang begitu kuat. Entah mengapa Shei, namun aku benar-benar sudah merasa tidak hidup selama sebulan terakhir ini” suaraku melemah – hampir tidak kedengaran bahkan oleh telingaku sendiri.
“Prasangkamu takkan selamanya benar Ferra..” Sheila mengingatkan.
Aku menunduk – melipat kepalaku jauh lebih dalam. Masih tak mampu memahami apa yang sebenarnya membuat keadaanku seburuk ini sekarang.
Secercah cahaya putih menyilaukan mata berkelebat cepat di hadapanku, leherku hampir mau patah rasanya ketika mencoba mengikuti kecepatan cahaya itu. Seketika seluruh udara disekitarku terasa berhenti, hampa, dan begitu sunyi.
Aku berdiri di ruang hampa yang seolah tak bertepi. Dindingnya berlapis wallpaper putih bersih. Di sudut nun jauh disana cahaya keemasan berkilau-kilau. Mataku menyipit menghindari cahaya mengkilap yang begitu menyilaukan mata itu. Selama beberapa detik itu aku hampir tak mampu mendefinisikan apa yang sedang kurasa. Semuanya terasa membingungkan, sepi, sunyi, tanpa udara...

Aku terhenyak kemudian mengerjapkan mata beberapa kali ketika pundakku ditepuk-tepuk oleh Sheila dengan panik. “Ferra! Fer! Kamu kenapa? Ferra!” Sheila mengibaskan telapak tangannya di depan wajahku. Aku masih bingung dan tidak tahu apa yang baru saja aku alami beberapa detik yang lalu.
Sheila membukakan botol air mineral dan memintaku untuk meminumnya. Aliran air yang mengalir di sepanjang tenggorokan seperti mengembalikan kesadaranku perlahan-lahan.
“Aku takut Shei” tiba-tiba saja aku tak lagi mampu membendung air mata yang mengalir keluar dari kelopak mataku. Sheila membimbingku untuk menyandarkan kepalaku di pundaknya. Mengusap rambutku dengan lembut, berusaha sedapat mungkin menenangkan perasaanku yang benar-benar kacau.
***
Aroma wewangian beragam bunga-bungaan menyeruak masuk melalui rongga hidung. Aromanya begitu sejuk dan menenangkan. Kakiku berjalan gontai tanpa arah, berusaha keluar dari ruangan luas yang sepertinya tak berujung ini. Sekelilingku kini gelap, tanpa cahaya, hanya aroma wewangian yang setia menemani. Tanpa cahaya namun aku tak berhenti berjalan meski tak sungguh-sungguh yakin arah yang kutuju. Semakin lama ruangan tempat aku berjalan semakin gelap dan mencekam, aroma wewangian yang terhirup di hidungku semakin lama semakin berlebihan hingga membuat hidungku sakit. Aku mulai kalut, takut, namun tak tahu apa yang sebaiknya kulakukan. Satu-satunya cara adalah berlari. Aku berlari dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, ingin berteriak meminta tolong. Namun, sekuat tenaga aku berteriak, tak sedikitpun suara yang keluar dari kerongkonganku yang terasa sangat kering ini. Aku hanya mampu terus dan terus berlari, meski kakiku mulai lemas, telapak kakinya pun hampir mati rasa. Mungkin aku sudah terlalu jauh berlari, namun belum juga menemukan tepian ruang gelap ini.
Kepalaku membentur lantai. Perlahan-lahan kabut gelap yang menutupi mataku pudar, aku mampu menangkap keadaan di sekelilingku sekarang. Aroma wewangian yang menusuk hidung pun tak lagi ada. Aromanya khas, aroma ruang tidurku. Butiran keringat sebesar biji jagung menghiasi keningku. Aku beranjak kemudian duduk di sisi tempat tidur. Barulah aku sadar, bahwa yang baru saja aku alami ternyata hanya mimpi.
Kepalaku masih terasa pusing, entah efek terbentur lantai atau efek dari ketegangan yang masih saja menyelimutiku akibat mimpi buruk yang kualami barusan. Namun ujung mataku tak dapat lepas dari kalender besar di dinding kamar. Menggantung penuh dengan lingkaran-lingakaran merah di beberapa tanggalnya. Lingkaran merah yang paling besar adalah hari ini, 25 Mei. Hari yang kunanti-nantikan, yang sudah kuperhitungkan baik-baik. Hari ini seharusnya menjadi hari kematianku. Dalam mimpi-mimpiku sebelumnya, aku selalu melihat matahari terbenam di tanggal 24 Mei. Berkali-kali aku melihat mimpi yang sama. Senja di tanggal 24 Mei, aku mengenakan gaun putih panjang, memandangi matahari terakhir yang mampu kulihat karena dalam mimpiku itu, aku begitu yakin takkan ada lagi hari esok. Dalam mimpi-mimpiku aku tak pernah mampu melihat pagi hari di tanggal 25 Mei.

Aku mengingat peristiwa terakhir saat bertemu dengan sahabatku, Sheila. Ya, ternyata ia adalah sahabat yang selama ini tak pernah benar-benar aku sadari keberadaannya. Dia lah satu-satunya teman yang memperhatikanku begitu dalam, melebihi aku memperhatikan diriku sendiri. Siang itu di sekolah kami, setelah aku menceritakan kegundahanku yang kualami sebulan terakhir, ia menasihatiku untuk menghilangkan fikiran-fikiran buruk tentang kematian, aku harus tetap optimis untuk hidup dan jangan terlalu percaya pada mimpi-mimpi yang aku alami selama ini.
Pagi ini aku membuktikan kata-katanya. Ternyata benar, mimpi-mimpiku selama ini hanyalah kekhawatiran yang sama sekali tak beralasan. Secercah kelegaan membumbung di hatiku. Akhirnya hari yang aku tunggu-tunggu selama ini, segala prasangka buruk yang menyelimuti hidupku empat puluh hari terakhir ini sungguh benar-benar tak beralasan. Pagi ini, tanggal 25 Mei, aku masih hidup, duduk di kamarku yang nyaman dan hangat, menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan menenangkan. Kebahagiaan yang begitu kurindukan selama ini kini telah kembali, hidupku menjadi lengkap, kekhawatiranku tak lagi perlu aku rasakan. Kenyataan mengalahkan semua kegundahan yang aku rasakan.

***
Aku memandangi refleksi diriku dalam cermin. Lingkaran hitam di bawah mataku masih nampak samar meski aku sudah melapisinya dengan sentuhan tipis compact powder. Namun senyuman tak henti-hentinya tergambar di wajahku. Aku memberikan sentuhan sempurna dengan sedikit lipgloss di bibir mungilku.

“Ibuuu..!” aku menyuarakan kebahagiaanku, menyapa Ibu pagi ini dengan aku yang baru.
“Kok Ayahnya ngga dipanggil?” Ayah yang sedang menikmati sarapannya menggodaku dengan raut wajah yang dipura-purakan kesal.
“Iya deh.. Halo Ayah..” Aku tersenyum sambil kemudian duduk diantara mereka.
Ayah ikut tersenyum menyambut kebahagiaan yang tergambar jelas di wajahku.
Alis Ibu bertaut memperhatikan tingkahku. “Kamu dandan?” tanya Ibu sambil memperhatikan wajahku lekat-lekat.
Aku tersipu mendengar pertanyaan Ibu “Jelek ya bu??” aku mengerucutkan bibir – pura-pura kecewa mendengar kata-kata Ibu barusan.
“Eh, ngga kok. Anak Ibu cantik, cuma aneh aja Ibu melihatnya. Kamu kan ngga biasa-biasanya dandan kalau ke sekolah. Lagipula hari ini kamu kelihatannya senang sekali ya” Ibu tersenyum kemudian mengelus rambutku.
“Iya dong bu!” aku membalas senyum Ibu.
“Hmm, Ibu tahu... Pasti karena besok kamu mau ulang tahun ya? Kamu yakin ngga mau merayakan ulang tahunmu? Besok kan ulang tahun kamu yang ke 17. Biasanya anak seumuran kamu selalu ingin ulang tahunnya dirayakan lho..”
Seteguk susu cair yang sedang mengaliri tenggorokanku seakan ingin kembali keluar ketika mendengar kata-kata Ibu barusan. Aku tersedak, baru ingat bahwa esok adalah hari ulang tahunku. Namun perasaanku kembali tenang saat menyadari hari ini aku baik-baik saja. Tidak seperti yang aku cemaskan akhir-akhir ini. Firasatku selama ini ternyata hanya perasaan buruk yang tak pernah terbukti kenyataannya.
“Pelan-pelan minum susunya Ferra” Ibu menepuk-nepuk pundakku.
Aku tersenyum sambil mengusapkan tissue diatas bibirku.
Fikiran buruk yang telah menghantuiku selama 40 hari terakhir ini harus aku hilangkan. Pagi ini aku sudah membuktikannya sendiri. Aku masih ada di ruang makan ini, di rumahku, duduk bersama Ibu dan Ayah – orang-orang yang paling aku sayangi di dunia ini.
“Besok Ferra tunggu kado dari Ibu dan Ayah ya..” senyumku manja sambil menggoda kedua orang tuaku.

Pagi itu suasana sarapanku terasa begitu membahagiakan. Sebelum berangkat ke sekolah, hatiku tiba-tiba tergerak, ingin sekali memeluk Ibu – hal yang biasanya jarang sekali aku lakukan. Seingatku, bahkan selama ini aku belum pernah berucap secara lisan bahwa aku sangat menyayanginya. Pagi ini, saat suasana hatiku sedang benar-benar bahagia, kurasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan yang selama ini belum sempat aku katakan pada Ibu.
“Ibu..”
Ibu menoleh ke arahku. Aku memandangi guratan di wajahnya yang masih tetap cantik meskipun garis-garis di sekitar mata dan bibirnya tak mampu menyembunyikan usianya yang mulai menua. Aku mengaguminya, selama keadaanku lebih dari satu bulan belakangan ini, ia begitu telaten menjagaku dan memberikan segala cinta kasihnya padaku. Aku terharu dengan kebesaran cintanya padaku. Tak mau merusak keceriaan pagi ini, aku berusaha melupakan tangis bahagiaku yang hampir keluar dari kelopak mata, aku kemudian melompat ke pelukan Ibu yang berdiri tak jauh dariku.
“Ibu, Ferra sayang sekali sama Ibu. Terima kasih ya Bu untuk kasih sayangnya selama ini. Maafin Ferra belum bisa jadi anak yang baik. Ferra sayang Ibu” pelukanku semakin erat melingkari tubuhnya, rasanya begitu hangat berada di pelukan Ibu. Begitu hangat, dan menenangkan.
“Ibu juga sayang kamu Ferra. Jangan sedih-sedih lagi ya. Anak Ibu harus bisa terus ceria seperti hari ini” Ibu mengusap rambutku dengan penuh kasih, kemudian memelukku sekali lagi.
Aku masih enggan beranjak dari dekapan hangat Ibu, namun dentang jam tujuh kali berturut-turut dari ruang tamu mengagetkanku. Dengan cepat aku melepaskan dekapanku dari tubuh Ibu.
“Wah, sudah jam tujuh. Aduh, Ferra bisa terlambat masuk kelas biologi nih..” keluhku sambil terburu-buru meraih ranselku yang terletak diatas meja. Aku mengecup punggung tangan Ibu dan Ayah selepas lalu kemudian berlari ke arah pintu.
“Kamu ngga mau bareng Ayah?” Tanya Ayah
“Ngga yah. Ferra naik angkutan umum aja” teriakku
Aku kembali berlari namun kemudian ketika hampir sampai di depan pintu, aku berhenti. Meski aku tahu aku akan terlambat tiba di sekolah, namun entah mengapa aku masih saja ingin berbalik dan sekali lagi mengamati wajah Ibu dari balik daun pintu.
“Ibu..” panggilku akhirnya setelah beberapa detik mengamati lekukan wajahnya.
“Ada apa lagi Ferra? Nanti kamu terlambat lho..”
Aku tersenyum menangkap gurat kecemasan tergambar di wajah Ibu. “Aku sayang Ibu.. daaa..” Senyuman Ibu membalas lambaian tangan yang mengiringi langkah tergesaku meninggalkan rumah.

Hari itu berjalan sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Setibanya di kelas biologi hari itu, beruntung Pak Diyo sedang keluar untuk mengambil beberapa alat untuk praktikum sehingga aku bisa menyelinap masuk ke dalam kelas. Mataku berputar mengelilingi kelas, dan sosok yang kucari ada di sudut kelas, sedang sibuk berkutat dengan buku tebal di genggamannya.
“Sheilaaa..” suaraku jelas begitu menggambarkan kegembiraan.
Sheila nampak bingung, kaget dan tidak menyangka melihat perubahan yang begitu signifikan dalam diriku. Ia berdiri dan dengan cepat melompat kedalam pelukanku.
“Ferra. Aku fikir kamu ngga masuk” ucapnya tak kalah gembira
“Sheila, aku baik-baik saja. Sekarang tanggal 25 dan aku baik-baik saja Shei..” aku memegang kedua lengan Sheila dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Kami berdua begitu gembira hingga tak terasa sedang melompat-lompat bersama. ‘perayaan’ kegembiraan kami berakhir ketika Pak Diyo memasuki kelas kami. Aku dan Sheila duduk berdampingan. Hari ini aku siap kembali menerima pelajaran. Takkan ada lagi Ferra yang dirundung kesedihan. Kelas biologi yang biasanya tak aku sukai pun hari itu menjadi begitu menyenangkan aku jalani bersama Sheila.

***

“Ferra!!!” jeritan keras suara laki-laki berada diantara alam mimpi dan dunia nyata di pendengaranku. Masih samar-samar. Aku sedang menikmati tidur nyenyakku yang tidak dihantui mimpi buruk malam ini – tidak seperti malam-malam sebelumnya. Apa suara yang barusan kudengar hanya mimpi? Kelopak mataku belum sepenuhnya terbuka. Terlalu nyaman menikmati kehangatan tubuhku yang dibalut selimut tebal. Namun suara itu kali ini terdengar lebih jelas. Memanggil namaku dengan lebih lantang. Itu suara Ayah! Dengan tubuh yang masih limbung, aku beranjak cepat dari atas tempat tidurku kemudian berlari ke arah sumber suara.
Aku berdiri mematung di pintu kamar orang tuaku. Meyakinkan apakah yang ditangkap oleh dua bola mataku seburuk apa yang ada di fikiranku. Ayah berlutut di sisi tempat tidur, memeluk tubuh Ibu yang tampak tak berdaya. Wajah Ibu pucat, tidak merona seperti biasanya. Mata Ibu terpejam, entah mengapa Nampak begitu damai. Bibir mungilnya mengguratkan senyuman yang kelihatan abadi. Belum yakin apa yang sebenarnya terjadi, aku sudah tak mampu menahan air mata yang memaksa keluar mengalir dari kedua bola mataku.
Langkah gontaiku perlahan menghampiri tempat tidur orang tuaku. Aku bisa memperhatikan punggung Ayah bergerak-gerak diiringi isak yang tertahan. Belum pernah aku melihat Ayah menangis seumur hidupku.
“Ibu sudah tidak ada..” suara Ayah terdengar serak. Menjawab segala pertanyaan yang tak mampu aku sampaikan. Duniaku seakan berhenti seketika. Rasanya ingin berteriak untuk mengatasi rasa sesak luar biasa yang memenuhi rongga dada. Namun berteriak sekencang apapun takkan ada suara yang mampu keluar. Tungkai kakiku seketika lemas, rasanya seperti tak lagi memiliki tulang yang mampu menyangga tubuh ini. Sekelilingku tiba-tiba gelap, kepalaku pusing dan suara isak tangis Ayah tak lagi terdengar.

Aku egois. Terlalu naif untuk mengakui bahwa begitu banyak kasih sayang dari orang disekitarku yang tak pernah sempat aku sadari. Belakangan ini hanya menyibukkan diri dengan ketakutanku sendiri. Lemah karena tak mampu melihat apa yang selama ini aku miliki. Terlalu sibuk dengan ketakutan-ketakutan konyol yang aku ciptakan sendiri. Melupakan orang yang begitu menyayangiku yang tak pernah aku syukuri keberadaannya. Saat semua telah pergi, bodoh rasanya menyesali semua ini.
Hari ini adalah ulang tahunku yang ke 17. Remaja seusiaku seharusnya sedang menikmati pesta perayaan ulang tahun yang dinantikan hampir setiap remaja. Usia dimana seorang remaja ingin dianggap dewasa lebih dari sebelumnya. Aku tak menginginkan kado yang muluk. Namun ternyata ini adalah hadiah yang Ibu berikan kepadaku. Rasa sakit dan kehilangan. Rasa perihnya ditinggalkan orang tersayang. Jika usia remajaku harus dibayar dengan kepergian Ibu, aku tak pernah ingin hari ini datang. Aku tak pernah siap. Bahkan aku rela menjadi kanak-kanak selamanya asalkan bisa bersama Ibu.
Segalanya terlalu cepat, dan aku belum siap untuk keadaan sesulit ini. Dapatkah Tuhan menukar jiwa Ibu dengan jiwaku saja?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar