Rabu, 12 Oktober 2011

Kanvas Tinta Darah

Dua setengah tahun yang lalu aku sedang duduk di trotoar jalan, sedang merenungi rasanya ditinggalkan.
Sedih, pahit tentu saja.
Aku diam, masih termangu dalam kegelapan malam, masih enggan beranjak
Namun aku berusaha bangkit untuk menyusuri jalan di hadapanku saat ini, jalannya masih begitu gelap.
Perlahan aku menyeret langkah tertahanku, terseok-seok namun enggan berhenti.

Secercah cahaya terang bersinar di ujung jalan, aku menghampiri cahaya itu
Disana, cahaya itu membolehkanku mengambil sebuah kanvas putih besar yang ada di genggamannya.
Aku masih linglung, tak mengerti apa arti pemberian kanvas besar ini.
Tanpa suara, ia seolah berseru, memintaku untuk mengisi bidang kosong dalam kanvas itu.
Harus kuisi dengan apa kanvas putih kosong ini?
Aku merasa tenang berada dekat dengan cahaya indah ini.

Perlahan demi perlahan rasa sakit dan kehilangan yang kurasakan sebelumnya mampu terkubur saat berada disisi cahaya ini.
Aku tidak punya tinta warna warni untuk melukiskan lukisan indah dalam kanvas yang sekarang telah ada dalam genggamanku
Lagipula aku tak begitu suka melukis
Aku ingin menulis sesuatu dalam kanvas itu, apa saja..
Aku melirik ujung jariku yang kini telah ada di genggamannya
Perlahan aku mendekatkan ujung jariku pada mulutku.
Aku menggigit jariku sendiri, kugigit hingga keluar darah segar dari ujung-ujungnya
Aku tak memperdulikan rasa sakit yang kurasakan, bagiku ini hanya sesaat
Selama ada di sisi cahaya indah ini, rasa sakitku akan baikan
Tinta darah itu yang kugunakan untuk menulis huruf demi huruf dalam kanvas yang ia berikan

Waktu terus berlalu, dan setiap harinya aku terus menulis dengan tinta dari darah yang keluar dari ujung jariku sendiri
Menulis dengan penuh rasa sakit, namun tetap kujalani hingga waktu berlalu tak terasa telah dua setengah tahun lamanya.
Tulisanku sempat berhenti di beberapa bagiannya, namun tak pernah benar-benar berhenti, aku ingin terus menulis, meski pada akhirnya nanti darahku sendiri yang akan habis.

Entah mengapa seiring waktu pula, cahayamu meredup.
Namun aku tetap tak lelah menulis, meski kurasakan mulai melemah.
Mungkin darahku hampir habis kini..

Suatu malam, malam yang tak pernah aku harapkan kedatangannya
Seorang wanita cantik mengambil kanvas itu dari tanganku.
Ternyata wanita ini tak benar-benar baru datang
Ia menunggu sejak lama, memperhatikan aku dan sang cahaya selama dua setengah tahun ini
Kemudian mungkin ia lelah menunggu, ia memutuskan untuk mengambil paksa kanvas itu dari genggamanku
Aku mencoba merebutnya, mempertahankan tulisan yang susah payah kugoreskan selama ini.

Cahaya, kamu masih disana, berdiri diam memperhatikan kami memperebutkan kanvas yang hampir penuh dengan tulisan tinta darahku itu.
Tapi kamu hanya diam, tidak berbuat apa-apa
Hingga akhirnya aku yang lemah dan tak mampu lagi mempertahankan kanvas itu, jatuh tersungkur.
Wanita cantik itu tersenyum, mendapati kanvas yang kujaga dengan segenap hatiku selama dua setengah tahun ini
Tak rela kanvas penuh tulisan tinta darah itu direbut begitu saja, aku bangkit, berusaha merebut kembali apa yang seharusnya jadi milikku.

Namun tiba-tiba hujan deras mengguyur kami bertiga
Aku menyaksikan perlahan demi perlahan huruf demi huruf dalam kanvas itu luntur disapu hujan
Masih berada dalam genggaman wanita cantik, warna kanvas itu kini tak lagi putih, namun basah, hampir robek dan tulisan tinta darahku hampir sirna seluruhnya.

Cahaya, kamu masih diam, melihat kanvas itu rusak begitu saja.
Yang tak pernah terduga adalah, tiba-tiba kau mengeluarkan kanvas baru dari balik tubuhmu. Yang masih terbungkus plastik, dikemas indah, lengkap dengan tinta warna-warni di dalamnya.

Kemudian apa yang kau lakukan?
Kau meminta wanita cantik itu membuang kanvas-ku dan mengambil kanvas baru yang jauh lebih indah itu
Wanita itu tersenyum sekilas,
Kemudian kalian membalikkan tubuh, berjalan menjauhiku yang masih terpuruk

Dalam hujan deras di tengah malam ini, aku masih belum mampu bangkit
Memperhatikan sepasang punggung bergerak menjauhiku
Meninggalkanku di tengah malam sunyi yang jauh lebih menyakitkan dari apa yang kurasakan dua setengah tahun yang lalu.
Tubuh lemahku diguyur hujan deras,
Kanvasku hampir hancur, tak bisa lagi kuperbaiki
Aku mendapatinya teronggok lemah di jalan, semua tinta darahnya telah terhapus hujan
Cahaya pun telah pergi bersama wanita cantik itu
Kini sekitarku benar-benar gelap.
Kanvasku pun sudah benar-benar hancur
Dan darah dalam tubuhku hampir habis sepertinya
Ah, terlalu sakit

Akankah ada cahaya baru yang akan datang?
Membantuku bangkit dari keterpurukan ini?
Akankan cahaya baru itu mampu mengembalikan semua darah yang telah aku gunakan untuk menulis dalam kanvas masa lalu itu?
Akankah aku masih mampu hidup tanpa darah dalam tubuh lemahku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar