Oleh : Defitria Wardhani
Hati ini tak pernah benar-benar yakini apakah Ia benar cinta pertamaku. Namun beberapa tahun kulalui tanpanya mungkin telah berhasil membuktikan kekuatan cinta itu. Kami bertemu sekitar delapan tahun silam. Awalnya aku hanya berani mengamatinya dari kejauhan. Beberapa kali sempat ketahuan mencuri-curi pandang kepadanya. Mungkin sosoknya bukanlah pria yang sempurna, namun dimataku ia begitu indah. Tingginya sekitar 180 cm lebih mungkin. Wajahnya begitu unik dalam pandanganku. Matanya sering hampir tidak terlihat ketika ia tersenyum, dan ia memiliki lesung pipi di kedua pipinya yang membuat wajahnya semakin kelihatan indah di mataku.
Mendekatinya bukanlah hal yang mudah. Aku yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP pada saat itu tak punya cukup keberanian untuk sekedar mengajaknya berbincang. Ia dekat dengan banyak wanita cantik, mungkin karena karakternya yang humoris. Hal itu pula yang membuatku semakin meragu untuk memulai menjalin pertemanan dengannya. Aku tak pernah yakin rasa apa yang bergejolak dalam dada ini. Delapan tahun lebih, dan aku tetap tak bisa menjawabnya.
Kebahagiaan cinta itu sempat singgah dalam rentang waktu delapan tahun ini. Namun hanya sesaat, begitu sebentar dan hampir tak terasa. Mungkin aku ini manusia yang tidak bersyukur. Harusnya aku bahagia pernah merasakan kebahagiaan cinta itu, meski hanya sesaat.
Waktu kian berlalu sejak pertama kali aku menangkap sosok indahnya, kemudian merekamnya dalam hati dan fikiranku. Hingga detik ini, kasetnya mungkin tersimpan terlalu dalam, dan tak pernah bisa kuhapus. Raganya berada entah dimana, namun kenangannya terus saja menari-nari dalam fikiranku. Bermain-main dengan emosi dan air mataku.
Hampir lebih dari enam bulan kami berteman, aku mulai gelisah dan ingin mengungkapkan apa yang aku rasa. Ratusan lembar dalam buku harianku mengulas tentangnya, berisi namanya dan segala cerita tentang sosoknya. Namanya Andika. Sosok yang membuat hatiku begitu bergejolak penuh emosi naik dan turun. Memandanginya dari kejauhan saja bisa membuatku panas-dingin. Mungkin benar ini cinta. Meski sudah lebih dari delapan tahun lalu aku merasakan itu, sampai detik ini pun degupan jantung tiap kali berpapasan dengannya masih jelas kuingat.
***
Hari itu 8 maret 2002 di beranda depan kelas kami, mimpi-mimpi yang aku torehkan dalam setiap lembaran buku harianku, khayalan yang terus menghiasi mimpi dalam tidurku, dan segala doaku kemudian seperti terjawab oleh Tuhan. Pagi itu saat jam istirahat pertama, aku berdiri di beranda kelas, membuang pandanganku ke sekitar halaman sekolah. Kemudian Andika datang mengagetkanku. Aku menoleh, wajahku memerah mendapati dia berdiri di sisiku, sedekat ini. Bahunya bergesekkan dengan bahuku. Degupan jantungku bertambah cepat, aliran darahku terasa lebih cepat dari biasanya membuat kerja jantungku bertambah keras. Aku begitu gugup berada begitu dekat dengannya. Begitu dekat dengan orang yang begitu aku puja.
“Hai..” sapanya ringan diiringi senyum yang membuat kakiku seketika seperti tak lagi mampu menopang berat badanku. Senyumnya seperti memiliki magic yang kemudian menyihirku seperti tak lagi bertulang.
Baru satu kata saja keluar dari mulutnya aku sudah salah tingkah, kemudian aku hanya mampu membalasnya dengan senyuman yang pasti tak semanis senyum miliknya.
“Gue suka sama Lo” ucapnya begitu datar.
Tentu saja ini bukan petir di siang bolong kan? Aku mencubit ringan lenganku, kemudian terasa sakit. Ah, berarti ini bukan mimpi. Tapi apa mungkin, Andika yang selama ini bersikap dingin padaku tiba-tiba menyatakan perasaanya kepadaku. Dalam diam dihiasi jutaan tanya di kepalaku, ia kembali bersuara.
“Lo mau nggak jadi pacar Gue?”
Ahh, tolong turunkan aku dari negeri kayangan ini. aku seperti terbang begitu tinggi hingga ke langit ke tujuh. Meski aku tak pernah tahu pasti ada berapa lapis langit di atas sana. Namun laki-laki di hadapanku ini benar-benar telah berhasil membuat hatiku begitu bergejolak. Terbang melambung tinggi, seakan sulit untuk kembali memijakkan kakiku di bumi. Namun dengan cepat pula kuatur sikapku di hadapannya. Aku tak ingin ia tiba-tiba “kabur” melihat sikapku yang aneh.
“Hmm, lo serius?” hanya kata-kata itu yang terlintas di benakku saat itu.
“Iya, Lo mau ngga jadi pacar gue?” ulangnya lagi. Wajahnya pun memang tidak menampakkan aura orang yang sedang bercanda. Ia tampak serius. Memandangku dengan kedua bola matanya.
Aku harus sedikit mendongakkan kepalaku karena ia memiliki tinggi badan yang lebih dariku. Seperti tersihir akan aura keindahannya, aku pun hanya mampu mengangguk perlahan. Sekali lagi ia tersenyum, aku semakin ingin terbang rasanya. Ini benar cinta. Aku tak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupku. Senyumannya sepintas, lalu ia berlalu dari hadapanku. Lagipula apa yang diharapkan dari proses jadian remaja seusiaku saat itu yang baru menginjak 12 tahun. Tapi aku percaya itu cinta. Cinta di usia 12 tahun.
***
Orang bilang, cinta di usia remaja itu cinta monyet, namun aku tak pernah sependapat dengan pernyataan itu. Aku dan Andika menjalani hubungan kami yang menurutku sudah termasuk dalam kategori pacaran pada saat itu. Yang terpenting ia sudah menyatakan cintanya kepadaku, begitu pula dengan aku. Kami menjalani kedekatan itu selama dua bulan pertama. Namun rasanya tak seindah yang ada dalam imajiku. Aku fikir cinta adalah bahagia, cinta adalah kasih, namun ternyata yang aku rasa, cinta adalah air mata. Lebih dari enam puluh hari terlewatkan, hari dimana senyum bisa terlukis di wajahku bisa terhitung oleh jari. Selebihnya air mata dan kegundahan sangat akrab kurasakan dalam tiap menitku di malam-malam yang harus kulalui. Menunggu mataku yang sembab mampu mengatupkan kelopaknya, membasahi lembaran buku buku harianku dengan air mata. Aku belum siap untuk apa yang kusebut cinta. Ternyata setelah menyatakan cintanya kepadaku, Andika tak bersikap seperti yang aku angankan layaknya kisah romeo juliet dalam legenda, atau pasangan barbie dan ken yang melewati hari mereka penuh cinta. ‘pacaran’ yang kurasakan dengannya hanya sebuah hiasan status yang semu.
Aku benar-benar merasakan kebahagiaan itu hanya ketika pagi di tanggal 8 maret 2002 itu. Selebihnya, aku hanya mampu melantunkan rindu, cinta dan kasihku dalam tiap lembar buku harianku. Apakah begini rasanya cinta? Kemana bayang-bayang bahagia yang aku impikan sekian lama? Mungkin benar, cinta tak selalu bahagia.
Puncaknya, 10 Juni 2002. Aku menguatkan hatiku untuk mengungkapkan apa yang mengganggu hidupku selama kurang lebih tiga bulan terakhir. Semalaman aku berfikir apakah aku sudah benar-benar kuat mengungkapkan ini. Namun akhirnya pagi itu kuputuskan untuk menghampirinya di sudut kelas kami.
“Andika...” sapaku lemah, wajahku pun benar-benar kusut karena tidak tidur semalaman.
Ia menengadahkan kepalanya, kemudian tersenyum – tanpa kata.
“Gue mau ngomong” aku kemudian duduk di sisinya.
“Ngomong apa?” ia masih sibuk berkutat dengan buku di hadapannya.
Aku duduk terdiam cukup lama sambil meliriknya dari balik bulu mataku. Kemudian perlahan aku mencoba membuka memberanikan diri untuk bicara.
“Gue.. mau putus” ucapku begitu lemah.
Ia menoleh cepat kemudian memperhatikan wajahku. Aku tak kuasa memandang wajahnya. Aku menyembunyikan wajahku, menatap lurus ke bawah.
“Kenapa?” ia berusaha mencari wajahku yang masih berusaha kusembunyikan. Perlahan ia memberanikan diri meletakkan tangannya di atas lenganku.
Aku tak pernah tahu apa yang ada dalam fikirannya saat itu.
“Kenapa?” tanyanya untuk kedua kali.
“Tidak apa-apa. Mungkin sebaiknya kita putus”
Lama ia terdiam, mungkin memikirkan sesuatu. Perlahan ia melepaskan tangannya dari tanganku. “Ya sudah..” jawabnya singkat.
Kini aku yang kemudian memperhatikan wajahnya. Ia menyampingiku dan kemudian kembali membuang pandangannya ke buku yang ada di hadapannya.
Aku berlari menjauhinya. Rasanya ingin berlari sejauh mungkin agar tak pernah lagi bertemu dengannya. Aku menangis di dalam kamar mandi sekolah. Aku tak tahu apa yang baru saja aku lakukan. Mengapa aku melakukan itu? Aku tidak bisa terus menjalankan hubungan sementara ia terus menerus mengacuhkanku. Namun sebaliknya, hatiku sesungguhnya belum siap dan mungkin tak akan pernah siap kehilangan dia.
10 Juni 2002. Aku sesali seumur hidupku. Mengapa hari itu harus datang dan membuat aku terus tersiksa dengan perasaan ini. Aku masih mencintainya. Sangat mencintainya. Cinta pertama yang begitu dapat menguasai perasaanku. Hingga kini, sudah hampir delapan tahun lebih sejak terakhir kali aku duduk di sampingnya. Setelah 10 Juni 2002 itu ia tak pernah lagi mendekatiku. Bahkan menyapaku pun tidak. Setiap kali berpapasan, ia hanya berlalu seperti tak ada aku disini. Atau mungkin ragaku tak lagi terlihat dalam pandangannya?
***
Aku mencoba menerima cinta lain yang datang. Perlahan, namun aku bisa mengizinkan seseorang mengisi kembali hatiku setelah ribuan malam kulalui sendiri, tanpa cinta. Kemudian memang ada cinta yang datang dan menetap di hati. Namun dia, cinta pertama ku tetap memiliki porsi tersendiri dalam ruang di hatiku ini. Selalu ada tempat untuknya. Takkan bisa terganti. Tidak akan bisa.
Aku selalu menyediakan lembar-lembar dalam buku harian ku untuk menorehkan namanya. Asaku yang senantiasa tak pernah berhenti memujanya dalam hati. Kekasihku kini tak pernah tahu. Aku menyimpannya rapat-rapat dalam hati saja. Aku mencoba menikmati cintaku yang kumiliki saat ini. Rasanya bodoh untuk terus menerus menghabiskan air mataku setiap malam untuk meratapi kepergiannya. Aku meyakini bahwa sudah cukup cinta dari kekasihku kini. Namun keyakinan itu tiba-tiba saja berhenti seketika saat suatu malam ponselku berbunyi tanda panggilan masuk.
“Hai..” sapa sebuah suara yang sepertinya pernah kukenal.
Aku diam seraya berfikir. Suara ini terdengar begitu akrab
“Aku Andika”
Entah apa yang kudengar barusan itu nyata adanya atau hanya khayalan. Ia menyebut nama yang begitu mengakrabi tiap sendi kehidupanku. Namun ada yang berbeda. Andika yang aku kenal tak pernah bersikap selembut ini. Pasti ini Andika yang lain.
“Andika?” Tanyaku memastikan
“Iya, ini Andika. Sudah lupa ya? Aku Andika Dewantara. Sedang apa kamu Fi?” dia memanggil namaku begitu akrab dan penuh dengan kelembutan. Andika Dewantara sang cinta pertamaku yang sempat hilang tanpa jejak. Kemudian tiba-tiba hadir kembali. Apa yang dia ingini?
Aku berusaha bersikap sewajar mungkin. “Iya Andika, ada apa?”
“Apa kabar Fi? Sudah lama ya kita tidak bertemu”
‘Bagaimana mau bertemu? Setelah peristiwa pahit 10 Juni 2002, bahkan melirik diriku saja engkau tampaknya begitu segan’ aku merutuk dalam hati.
“Fi? Kamu masih disana kan?” Tanyanya meyakinkan bahwa sambungan teleponnya tidak terputus.
“Oh, iya Dika, baik. Gue baik. Lo gimana?”
“Baik juga. Kemana saja kamu? Sudah lama sekali nggak pernah ada kabar”
Aku masih terus menerka-nerka kemana arah pembicaraan ini. “Di sini-sini aja Dika. Kamu sendiri kemana saja? Tumben tiba-tiba hubungi aku” Kemudian aku ikut terbawa irama kenyamanan yang ia ciptakan ini.
“Iya nih. Ada yang mengganjal perasaanku”
“Apa?” Tanyaku cepat
“Sudah dua tahun terakhir ini kamu nggak pernah ucapin ulang tahun lagi ke aku. Kamu lupa ya? Minggu kemarin kan aku ulang tahun”
Aku diam. Setelah berpisah dengannya aku memang tetap selalu mengucapkan ulang tahun meski hanya lewat pesan singkat yang tak pernah mendapat jawaban. Tiga tahun yang lalu ketika aku mengiriminya ucapan selamat ulang tahun, pesanku gagal terkirim. Setelah kucoba meneleponnya, ternyata nomornya tidak lagi aktif. Benar saja, nomor yang ia gunakan meneleponku sekarang pun bukan nomor yang kutahu dulu.
“Nomormu yang dulu kan sudah tidak aktif” jawabku seadanya. Aku masih begitu kaku untuk membuat diriku nyaman berbincang dengannya setelah hampir delapan tahun lebih tak pernah lagi berbincang seakrab ini.
Andika terdengar tertawa ringan. Aku yang mendengarnya disini ikut tersenyum.
“Iya, aku lupa mengabarimu. Waktu itu handphoneku hilang. Untung saja nomormu masih yang dulu ya. Jadi aku tetap bisa menghubungimu”
Menghubungiku? Untuk apa? Setelah delapan tahun lebih kuhabiskan malam-malam panjang yang hampir membuatku gila karena sulit menghapus memorimu dalam benakku...
“Andika..”
“Iya ada apa?”
Aku menarik nafas panjang sebelum mengeluarkan kalimat dari bibirku. Aku pun harus mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kalimat ini. Namun bagiku sudah cukup penantian selama lebih dari delapan tahun. Aku harus berani membuka ikatan yang menyelimuti diriku dan terus membelenggu jiwaku. Aku harus berani.
“Apa kau pernah benar-benar mencintaiku?”
Andika tak bersuara, kemudian terdengar helaan nafas panjang seperti yang kulakukan sebelumnya. “Mengapa kamu bertanya seperti itu?”
“Aku hanya ingin tahu. Pertanyaan itu aku simpan selama lebih dari delapan tahun”
“Kamu serius?” Ia terkejut - terdengar seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. Mungkin ia akan jauh lebih tidak percaya lagi jika tahu apa yang aku lakukan setiap malam di hadapan buku-buku harianku. Membukanya lembar demi lembar, sambil tak henti meneteskan air mata.
“Apa suaraku terdengar seperti sedang bercanda?”
Ia tertawa ringan, lagi. Aku pun tak mengerti apa yang ia tertawakan. Aku tidak perduli. Aku hanya ingin ia menjawab pertanyaan yang memenuhi rongga dadaku selama ini.
“Fi, dengarkan aku ya. Aku menunggu kamu. Aku merasa ada yang hilang ketika hari ulang tahunku tak ada pesan ucapan selamat darimu. Aku menunggu setelah tanggal 10 Juni 2002 itu. Aku menunggu kamu datang dan mencabut kata-katamu kemudian kita bisa bersama lagi. Namun yang aku tunggu tidak pernah datang”
Aku berusaha mencerna kalimatnya yang entah mengapa di otakku seperti rumus aljabar yang sulit untuk dipahami. Aku tak ingin salah mengartikan kemudian membuatku menjadi lemah lagi seperti dulu. Aku sekarang sedang berusaha melanjutkan kehidupanku yang normal tanpa terobsesi segala hal tentangnya. Aku sedang berusaha menata hatiku, meski perlahan.
“Pesan ucapan selamat ulang tahun dariku toh tak pernah kamu indahkan”
“Aku memang terlalu lemah. Aku tak tahu kata apa yang harus kuketik untuk membalas pesanmu”
Bodoh! Aku tak minta banyak. Hanya sebuah kata terima kasih itu sudah lebih dari cukup bagiku. Laki-laki ini terlalu bodoh. Dan aku wanita yang jauh lebih bodoh yang senantiasa menantinya selama bertahun-tahun.
“Baiklah, setidaknya pertanyaanku sudah terjawab”
“Kamu mengerti kan perasaanku?” tanyanya kemudian.
Darimana aku bisa mengerti Andika Dewantara??? Aku mulai kesal dengannya. Aku seperti sedang ia minta untuk mencari kunang-kunang di siang bolong. Aku tak akan pernah bisa menemukannya. Begitupun hatinya. Namun satu hal yang aku tahu, tak ada alasan untuk terus menyiksa hatiku bertanya-tanya tentang perasaannya. Aku sudah tahu kini. Ia bukan laki-laki yang tegas. Ia laki-laki yang tak pernah yakin dengan perasaannya sendiri. Bagaimana ia bisa meyakini perasaanku?
Telepon malam itu berakhir begitu saja. Bahkan tanpa kalimat yang jelas darinya apa yang ia ingini dariku. Namun penantianku selama ini kurasakan sudah cukup. Aku harus menikmati hidupku yang sekarang. Andika Dewantara memang pernah dan masih terus menetap di sudut hatiku. Ia adalah cinta pertamaku. Aku bisa saja memulai melakukan pembicaraan yang mengarah kepada hubungan kami saat Ia menelepon. Namun aku tak mau terus menyiksa diriku. Perasaan cinta ini kubiarkan mewarnai sebagian kecil hatiku. Sebagai penghias memori lukisan cinta dalam hati.
Aku memutuskan untuk melanjutkan hidupku. Meninggalkan malam-malam panjang yang kuhabiskan bersama butiran-butiran air mata. Menyimpan buku-buku harianku dalam tumpukan buku paling bawah di lemari bukuku. Aku percaya cinta pertama takkan pernah bisa terlupa. Namun bukan berarti tak ada jalan yang bisa kutapaki untuk kedepannya. Aku bahagia pernah mengenal Andika Dewantara. Dan aku begitu lega mendengar pernyataan tersiratnya di telepon malam itu. Bagiku itu sudah cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menghantui benakku selama bertahun-tahun.
Andika Dewantara, terima kasih untuk sepenggal cerita itu, aku begitu bahagia pernah mengecap kebahagiaan, menikmati senyuman terlukis di wajah tampan. Aku bahagia pernah menempatkanmu dalam tempat terpenting dihatiku. Kamu akan tetap ada. Tapi jauh di dalam hati. Hanya sesekali kutengok jika ada segumpal rindu. Aku harus berlalu, bukan meninggalkanmu, namun menatap apa yang ada di hadapanku.
Aku menghargai cinta yang Tuhan berikan kepadaku kini. Tak akan pernah ada cinta yang sempurna, namun aku senantiasa mencoba mensyukurinya.
Selamat tinggal Andika, biarkan kenanganmu kusimpan rapat-rapat dalam hati ini saja. Tersembunyi begitu dalam hingga belahan hatiku yang lain pun takkan pernah menyadari keberadaanmu. Terima kasih untuk jawaban atas pertanyaanku selama ini. setidaknya aku pun tahu kalau kau juga mencintaiku, meski aku harus tetap memutuskan untuk menatap hidupku ke depan. Terima kasih :)