Rabu, 25 April 2012

Wedding Invitation


Terkadang kamu tidak pernah tahu seberapa berartinya orang yang kau anggap belahan jiwamu itu bagi kekasihnya yang terdahulu

"Kamu bukan mencuri kekasihku, tapi kamu mencuri ia yang semestinya menikahiku"

Selembar kertas undangan pernikahan teronggok lemah di lantai, setelah tak mampu lagi  aku genggam. Seluruh tulang dalam tubuhku seolah menghilang seketika saat Dea menceritakan panjang lebar apa yang tengah terjadi sesungguhnya. Menjelaskan mengapa Frian semakin menjauh di kurang dari 1 bulan jelang pernikahanku dengannya.

"Frian yang memilihku. Aku menghormatinya"

Apakah itu jalan keluar yang terbaik menurutmu?

Hatiku berteriak meronta
Namun bibir ini beku, enggan berujar apapun

tujuh tahun yang panjang, penuh dengan kisah-kisah pahit dan manis

langkah yang tak pernah mudah, hingga akhirnya hari yang kuimpikan seolah sudah hadir di depan mata

3 bulan lalu, Frian melamarku

penantian panjangku selesai.

cerita ini akhirnya berakhir indah - setidaknya begitulah yang ada dalam benakku saat itu


Namun segalanya berubah lima menit yang lalu

"Dia tidak mencintaimu lagi Fishya. Dia memilihku kini"

tujuh tahun yang panjang, penuh dengan kisah-kisah pahit dan mengiris hati

"Dan harus kuakui, aku memang tak pernah berhenti mencintainya sejak tujuh tahun lalu"

Saat-saat tersulit hubunganku dengan Frian, kamu senantiasa setia mendengarkan keluhanku, berkali-kali memintaku menyudahi saja hubunganku dengan Frian, karena menurutmu jika kau jadi aku, kau takkan lagi kuat menghadapi Frian yang selalu saja sibuk dengan obsesi-obsesi karirnya.

dan malam ini aku tahu, mengapa kau berkeras memintaku mengakhiri hubunganku dengan Frian..

Tapi Dea, kamu tidak tahu..
kamu tidak tahu apa yang kau ambil dariku saat ini

kamu bukan saja mengambil kekasih yang selama tujuh tahun ini kujaga dengan semampuku

bukan "hanya" kekasih..

kamu mengambil Frian, Ayah dari calon bayi yang mulai tumbuh dalam rahimku...


Aku melangkah pergi, meninggalkan kertas undangan pernikahanku dengan Frian yang sebelumnya ingin kusampaikan padamu, kubiarkan tetap teronggok malang di atas lantai rumahmu..

Aku melangkah pergi, mengusap perutku yang bergerak-gerak. mungkin ia menangis di dalam sana

Bibirku mengucap kalimat yang bahkan hampir tak terdengar oleh telingaku sendiri ...

"Pergilah Dea. Ambillah Frian jika itu mampu membuatmu bahagia..."



2 komentar: