Sabtu, 30 April 2011

Lengkungan Warna Warni


Oleh : Defitria Wardhani

Tak banyak yang bisa aku lihat. Namun dapat dengan sempurna aku rasakan. Tak banyak bagiku berarti hanya satu. Ya, hanya satu yang bisa aku lihat. Yaitu kegelapan. Aku selalu menunggu celah cahaya muncul di balik kegelapan yang menyelimuti ku selama ini. 13 tahun kehidupan ku, belum ada secercah cahaya pun yang menyinari kegelapan ini. Namun dibalik setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang menerangi, meski aku tak pernah mengetahui bagaimana wujud cahaya sesungguhnya. Namun ketika bersama Bunda, aku merasa begitu hangat dan bercahaya. Bagi ku, Bunda yang selalu membantu ku untuk melihat segala yang ada di dunia ini. Bunda lebih dari bola mata bagi ku, dengannya aku melihat meski tak sempurna, namun aku yakin apa yang ku lihat dengan hatiku takkan jauh berbeda dengan apa yang dilihat orang lain dengan mata mereka yang sempurna.
Aku sempurna. Bunda yang selalu bilang begitu. Mana mungkin aku tidak sempurna? Tak ada hal yang bisa dilihat orang lain yang tidak Bunda beritahukan kepadaku. Apa yang mereka lihat, aku pun bisa melihatnya dengan hatiku. Bunda berujar, mata ku disimpan oleh Tuhan di dalam hati ku. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang tahu bahwa aku bisa melihat. Lebih tepatnya hanya Bunda yang menganggap ku bisa melihat.
Bunda segalanya. Menjaga ku sejak aku ada dalam kandungannya selama 9 bulan. Merawat ku dengan penuh kasih hingga aku tumbuh besar dan menjadi wanita yang cantik seperti sekarang (begitu kata Bunda).
Sekilas benda hangat mampir di keningku. Seperti pagi-pagi sebelumnya, begitulah cara Bunda membangunkan ku. Kecupannya yang hangat dan begitu lembut dapat dengan mudah dan segera membuat ku terjaga dari tidur ku. Ku rengkuh tubuhnya dengan sebelah tanganku. Sebelahnya lagi sedikit tertindih tubuh Bunda. Aku menggelayut manja di pelukan Bunda.
“Hari ini kita mau melihat apa Bunda?” tanya ku dengan penuh semangat
Bunda membenarkan posisi duduknya. Aku bisa merasakan ia berada tepat di hadapanku. Rasanya ia sedang memperhatikan wajah ku. Hembusan nafasnya terasa tak begitu jauh dari hadapanku. “Bunda mau mengajak kamu melihat pelangi”
Sedikit berfikir, aku mencerna kata yang baru pertama kali aku dengar itu. Pe-la-ngi. Nama yang cantik. Benda apa itu? Tak sabar aku ingin melihatnya.
“Aku ingin melihat pelangi! Sekarang ya Bunda..” ucap ku kegirangan
Bunda terdengar tertawa kecil, mungkin melihat tingkah ku yang sedikit berlebihan. Namun aku memang selalu gembira menyambut hal-hal baru yang akan Bunda “perlihatkan” kepada ku. Dan nama ‘Pelangi’ begitu membuat ku penasaran dan tak sabar untuk melihatnya.
“Mandi dulu sana. Pelangi nggak akan suka dilihat oleh anak yang belum mandi” canda Bunda.
Aku kembali mendekap tubuh Bunda dalam, kemudian perlahan berdiri.
Setiap sudut dalam ruangan kamar ini sudah ku hafal dengan jelas. Bahkan terkadang, tanpa bantuan tongkat sekalipun, aku bisa dengan leluasa bolak-balik ke kamar mandi atau sekedar menghirup udara segar dari jendela kamar di samping tempat tidur ku.
Aku benar-benar menikmati hidup ku. Di tengah keterbatasan fisik yang aku punya, namun aku begitu beruntung memiliki Bunda yang selalu membesarkan hatiku.

Lengan ku bertautan erat dengan lengan Bunda. Ia menggandengku berjalan di atas permukaan yang sedikit basah. Aku bisa menghirup wangi rumput segar di sekitar ku. Bunda membawa ku ke halaman luas tak jauh dari rumah ku. Tak jarang kami habiskan sore hari kami di sini. Namun hari ini begitu berbeda karena Bunda akan memperlihatkan ku hal baru. Dan untuk hal yang satu ini, entah mengapa aku merasa begitu bersemangat.
“Pelanginya sudah datang Bunda?” tanya ku tak mampu membendung rasa penasaran yang ada di hati ini.
“Belum sayang. Langitnya masih mendung. Warnanya kelabu”
Beberapa saat sebelum kami datang ke lapangan ini, hujan memang mengguyur kota kami. Menurut cerita bunda, ini adalah musim hujan. Hampir setiap sore, waktu ku untuk berjalan-jalan di luar rumah bersama Bunda menjadi terhalang karena cuaca yang buruk selalu menyebabkan hujan mengguyur kota kami.
Aku tidak suka hujan. Saat Bunda mengajak ku berdiri di bawah guyuran hujan, tetesan yang dihasilkan olehnya membuat tubuh ku menggigil dan flu keesokan harinya. Setiap kali hujan datang, langit akan berwarna kelabu. Warna yang kusam dan tidak menampakkan kegembiraan. Karena itu aku tidak suka hujan.
Ada satu pelajaran yang paling sulit aku pahami dari semua hal yang Bunda ajarkan kepadaku. Yakni pelajaran tentang warna. Aku bisa meraba segala permukaan bentuk benda yang Bunda tunjukkan kepadaku. Aku bisa menghirup aromanya dengan mudah jika benda itu memiliki aroma yang khas. Namun aku tak pernah tahu bagaimana wujud dari warna. Ia tak bisa ku raba maupun ku hirup aromanya. Yang aku tahu, jika semua warna cerah dijadikan satu, itu berarti sebuah keceriaan. Tidak seperti warna gelap yang selalu aku lihat dalam hidupku selama ini.
“Sayang..” Bunda menepuk pundak ku.
“Iya Bunda?”
“Langitnya sudah hampir gelap. Tapi pelanginya belum juga datang. Kita pulang saja ya..”
Aku diam. Sedikit kekecewaan aku rasakan menghampiri hatiku. Tapi aku pun tak boleh egois. Sudah cukup lama kami duduk di lapangan ini, namun yang kami tunggu-tunggu belum juga datang.
“Bunda..”
“Ada apa sayang?”
“Pelangi itu apa? Namanya begitu cantik. Benda apa itu Bunda?” aku pun menanyakan rasa penasaran ku akan wujud sebuah pelangi.
“Bunda ingin memberitahukan kepada mu saat pelanginya datang. Yang jelas pelangi itu sangat indah, ia datang setelah hujan berhenti. Berbentuk lengkungan warna-warni dengan cahaya di sekitarnya. Semoga besok pelanginya datang ya..” Bunda mengelus kepalaku perlahan.
Saat itu aku merasa begitu nyaman berada di samping Bunda. Aku memeluknya dan seakan tidak mau melepaskannya. Begitu hangat dan nyaman. Kekecewaan ku karena gagal “melihat” pelangi sore ini seperti langsung terobati ketika aku menikmati dekapan hangat Bunda.
“Bunda, Alya sayang sekali sama Bunda”
“Bunda juga sayang kamu, Nak..”

Keesokan hari tak pernah datang. Hanya waktu yang bergulir, namun imaji ku rasanya selamanya ingin ada di sore hari itu. Sore dimana Bunda ada di sampingku, menemaniku jalan-jalan sore hari, menceritakan ku banyak hal, dan yang terpenting memelukku dengan penuh cinta.
Riuh ramai suara orang dan doa-doa yang dilantunkan mereka memenuhi ruang tamu rumah ku. Rumah yang biasanya hanya ditinggali oleh aku dan Bunda semenjak kepergian Ayah 10 tahun yang lalu. Aku anak tunggal, dan bagi ku Bunda adalah wanita yang paling kuat. 10 tahun menjaga ku seorang diri, dan tak pernah sedikit pun ku dengar ia mengeluh saat merawat ku.Aku meraba Bunda yang ada di hadapanku. Kini ia tak bisa lagi memelukku. Tubuhnya terbujur kaku di hadapanku.
Keesokan hari setelah acara jalan-jalan ku bersama Bunda yang terakhir, tak seperti biasanya pagi itu tak ada yang mengecup ku. Padahal ku rasakan hari sudah beranjak pagi. Aku pun memutuskan untuk menghampiri Bunda di kamarnya. Berkawan tongkat setia ku, aku meniti jalan menuju kamar Bunda yang berada di sebelah kamar ku. Pintu nya tidak terkunci, namun keadaan sangat sepi. Tak ku dengar bunyi air dari kamar mandi. Berarti Bunda tidak sedang berada di kamar mandi. Aku berjalan mendekat menuju tempat tidurnya. Ku fikir Bunda masih tidur. Ini sama sekali bukan Bunda yang biasanya. Berkali-kali ku panggil Bunda sambil kugoncangkan tubuhnya, Bunda tidak bereaksi, hingga akhirnya saat ku raba detak jantungnya, tak terasa apa-apa. Hembusan nafas pun tak lagi keluar dari hidungnya. Matanya mengatup rapat. Dan dari bentuk bibirnya, aku bisa merasakan bunda tersenyum dalam tidur panjangnya.
Bunda belum sempat menunaikan janjinya untuk menunjukkan pada ku bagaimana rupa pelangi. Yang aku ingat, pelangi adalah lengkungan warna-warni yang bercahaya. Warna warni berarti keceriaan. Keceriaan hanya bisa aku dapatkan ketika aku berada di sisi Bunda. Aku tak perlu menunggu pelangi datang di sore hari. Sejak dulu, pelangi itu setiap saat selalu ada di sampingku, menemani hari-hari ku dan tak pernah lelah menyinariku.
Tak perlu menunggu pelangi menampakkan wujudnya, lengkungan warna-warni itu sesungguhnya telah lama aku miliki. Pelangi hanya datang setelah hujan berhenti, namun Bunda selalu menghiasi hidup ku dengan cahaya warna-warni nya. Tak perduli hujan atau panas, sehat atau sakit, pagi atau malam, ia selalu ada.
Kini Tuhan mengambil nya dari sisi ku. Namun bagi ku pelangi itu tetap tumbuh di dalam hati, menyinari dan membuat warna dalam hidup ku. Bunda adalah pelangi bagi ku.

Tuhan, jaga Bunda ku disana, berikan dia tempat yang terbaik di sisi-Mu, temani dia di kala dia sedih, berikan dia pelangi di saat dia membutuhkan cahaya. Terima kasih Bunda untuk cinta yang kau berikan, pelajaran yang begitu berarti, dan untuk semua hal yang tak pernah lelah engkau ajarkan kepada ku. Terima kasih Bunda. Terima kasih pelangiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar