Terkadang kita tahu bahwa kita harus berhenti pada satu titik,
Titik dimana tak ada lagi jalan terbentang di hadapan.
Pilihannya adalah berhenti atau berganti arah.
Aku masih terpaku.
Ada jalan panjang terbentang sejauh mata memandang.
Namun aku tau, aku tak lagi bisa menapaki jalan itu.
Disana rasanya dingin, tak sehangat dahulu.
Seperti berbincang pada dinding-dinding kokoh yang tak berperasaan
Seolah bercengkrama pada hembusan angin yang berlalu begitu saja
Seperti itulah kini rasanya ketika aku mengungkap segala rasaku kepadamu.
Kamu sepertinya kini telah jenuh menghadapiku
Di dalam lubuk hatimu, mungkin sesungguhnya kau ingin pergi
Selamat ya, untuk kehidupan barumu yang penuh bintang.
Aku yang semakin meredup dan tak lagi pantas bersanding di sisimu,
Semestinya memang aku lah yang tahu diri untuk segera menarik diri dari hidupmu
Membiarkanmu semakin terang dan bersinar
Tanpa takut terbebani dengan kegundahan kecilku yang seringkali tampak bodoh di matamu.
Aku belum mampu pergi dan berlalu
Kubiarkan kamu yang bergerak menjauh
Ragaku tak mampu lagi menahan kepergianmu
Tekadmu begitu bulat untuk terus maju
Kamu mungkin lupa atau sudah enggan meraih lenganku untuk dapat berjalan bersisian denganmu menuju masa depan.
Masa depan?
Pada malam ketika aku tahu bahwa kamu suka memaki dan berteriak keras sambil menepis kasar belaian lembut jemariku,
Di saat itu pula aku merasa masa depanku selesai
Gambaran buruk Ayah yang seringkali kulihat memaki Ibu seolah kini aku rasakan benar bagaimana perihnya jadi Ibu.
Ketakutanku menjadi lengkap
Tak ada lagi alasan untuk menciptakan cerita masa depan dengan lawan jenis.
Aku sudah menitipkan seluruh cinta yang kumiliki untukmu
Tak ada lagi rasa yang tersisa untuk mampu mengasihi pria lain.
Namun sikap kasarmu malam itu menjawab segalanya.
Kini, di saat setiap helaan nafasku yang senantiasa memuja namamu kau balas dengan cacian kasar, maka di saat itu pula artinya aku semestinya menghentikan helaan nafasku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar