Selasa, 31 Mei 2011

Selamat Ulang Tahun, Kiara!



Oleh : Defitria Wardhani

“Selamat ulang tahun, Kiara..” Kalimat itu terdengar begitu lirih keluar dari mulutku sendiri.
Lilin berbentuk angka satu dan tujuh berhimpitan manis diatas kue black forest yang tampilannya tak begitu menggugah selera. Kue itu berhasil tampak seperti kue ulang tahun – setidaknya setelah berjam-jam aku memaksa diriku sibuk berkutat di dapur mungilku.
Api yang sebelumnya menghiasi sumbu lilin dihadapanku perlahan musnah setelah satu hembusan panjang dari mulutku mengarah padanya. Yang tinggal kini hanya sisa-sisa asap yang meliuk perlahan dan semakin lama semakin tidak tampak.
Bibirku selesai bersenandung lagu selamat ulang tahun – senandung lembut yang hampir tak terdengar sekalipun oleh telingaku sendiri.
Kuedarkan pandangan berkeliling. Penglihatanku agak kabur terganggu air mata yang menggenang di kelopak mata. Sebingkai figura di sudut ruangan berhasil mencuri perhatianku. Setengah berdiri aku menjulurkan lengan ke arah figura tersebut kemudian meraihnya. Ada tiga orang yang terdapat dalam foto yang dibingkai figura kayu itu. Nampak salah satu diantara ketiga orang di foto itu adalah seorang gadis kecil dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, jepitan warna-warni tampak menghiasi rambutnya yang ikal. Disana, aku duduk  di hadapan kue ulang tahun berlapis cream warna merah muda, diapit laki-laki dan perempuan dewasa di sisiku, tertawa renyah penuh keceriaan dalam foto itu – kentara sekali perbedaannya dengan keadaanku sekarang. Di sudut foto terdapat tanggal kapan foto itu diambil – hampir tujuh tahun yang lalu saat aku masih berusia kurang lebih sepuluh tahun. Tujuh tahun lalu saat keadaan masih jauh berbeda, saat senyuman selalu menghiasi hari-hariku hampir setiap harinya. Tujuh tahun lalu saat apa yang kusebut rumah adalah tempat yang paling nyaman dan damai. Tujuh tahun lalu saat setiap tahunnya selalu ada banyak hadiah dan kue ulang tahun yang lezat selalu tersedia di hadapanku ketika aku membuka mata di pagi hari ulang tahunku.
Aku hampir lupa rasanya bahagia. Imajinasi membawaku terbang ke saat paling membahagiakan dalam hidupku, jelas tergambar disana kue ulang tahun, kado-kado dengan bungkus warna-warni, ucapan selamat, keadaan meriah – semua itu terakhir kurasakan tujuh tahun yang lalu. Sejak terakhir kali foto ini diambil, keadaan berubah begitu signifikan. Tak sampai dua bulan setelah ulang tahunku yang ke sepuluh, pertengkaran besar terjadi antara kedua orang tuaku. Aku yang masih berusia sepuluh tahun kala itu tak benar-benar memahami apa yang mereka permasalahkan.
Yang masih dapat direkam dengan jelas oleh otakku adalah teriakan, makian, air mata Ibu, kemudian barang-barang terlempar ke udara, berhamburan. Aku menyaksikan iu semua dengan sangat jelas. Berkali-kali mereka saling berteriak, memaki dan akhirnya Ayah keluar dari rumah membawa satu koper besar di genggamannya. Suara keras debuman pintu mengakhiri peristiwa yang tidak pernah bisa kulupakan seumur hidupku, bahkan hingga detik ini.

Sejak kepergian Ayah, aku hanya tinggal berdua dengan Ibu. Ibu berusaha menenggelamkan kesedihannya dalam gunungan pekerjaan. Setiap hari beliau berangkat pagi-pagi sekali saat aku belum bangun dan pulang begitu larut saat aku sudah terlelap. Sejak aku masuk SMA, Ibu mempercayakan semua urusan rumah padaku, sehingga menurutnya tak perlu lagi ada pembantu di rumah kami. Toh Ibu juga semakin jarang pulang ke rumah akhir-akhir ini.
Aku memiliki semuanya, kecuali kasih sayang – harga mahal yang begitu tak terbayarkan. Aku hanya ingin menikmati masa remajaku dalam kehangatan sebuah keluarga, namun impianku kian kemari kian terasa mustahil.
Hari ini tepat tujuh belas tahun aku hidup, hampir semua remaja normal begitu menanti-nantikan hari ini. Usia yang semestinya penuh keceriaan, canda tawa bahagia, kegembiraan. Namun semuanya seakan hanya bayangan yang semakin hari semakin kabur dari pandangan.

***
Sesuatu menghentak perutku memaksa untuk keluar melalui kerongkongan. Baru teringat olehku ternyata sejak kemarin belum ada sepotong makanan pun yang mampir di kerongkonganku. Kue ulang tahun dihadapanku sama sekali tidak menggugah selera. Aku nyengir melihat tampilannya yang tidak cantik – membayangkan bagaimana rasa kue yang sejak tadi hanya kupandangi saja tanpa kusentuh.
Sebelum penyakit maag ini bertambah parah, aku memutuskan meraih pisau kecil yang terletak tak jauh dari kue ulang tahun­ku kemudian mulai meletakannya di atas kue itu. Beberapa detik aku kembali melamun, mungkin ada baiknya jika aku mengungkapkan harapanku terlebih dahulu sebelum memotong kue ulang tahunnya.
Satu tarikan nafas panjang kuhirup perlahan namun pasti mengisi rongga dada, kuharap dapat sedikit mengurangi kesedihan yang menyesakkan hati. Aku memejamkan mataku erat, memohon dengan penuh harap. Satu hal yang aku minta pada Tuhan, aku hanya ingin seseorang menemaniku di hari ulang tahunku kali ini, seseorang yang menyayangiku. Amin.
Kusapukan telapak tangan pada wajah sekaligus mengusap air mata yang masih saja setia menggelayuti mataku.

‘Rasanya tidak terlalu buruk’ batinku dalam hati sambil tersenyum ringan. Sudah dua potong kue ulang tahun yang mengisi perutku sekarang, rasa mual yang aku rasakan sebelumnya mulai berkurang. Aku menggeser tubuhku untuk bersandar di sofa, mengambil remote TV kemudian menekan-nekannya beberapa kali. Tak ada channel yang dapat menarik hatiku.
Suara yang keluar dari speaker TV semakin samar-samar terdengar oleh telingaku, mataku perlahan-lahan terpejam. Semalam, aku terlalu sibuk menangis hingga tak sempat mengistirahatkan mataku, kini rasanya berat sekali untuk membuka mata. Semilir sejuk angin menghembus melalui celah jendela seolah membelai kepalaku untuk semakin tenggelam dalam lelap.

***
Semburat sinar jingga menerpa wajahku, memaksa mata untuk terbuka. Aku terhenyak saat menyadari warna langit diluar telah berubah menjadi jingga. Aku ketiduran, bahkan jendela-jendela itu dengan leluasa terbuka begitu saja. Beruntung tidak ada orang yang menelusup masuk ke rumah yang pintunya tidak terkunci, jendelanya bebas terbuka dan penghuni rumahnya tertidur pulas di ruang tengah seperti ini.
Aku menggeliat malas diatas sofa. Masih berusaha menyipitkan mata menghindari kilauan sinar matahari sore yang menyelusup masuk melalui jendela. Malas menyergap, sulit sekali rasanya untuk beranjak dari sofa empuk untuk kemudian menutup jendela-jendela dan mengunci pintu. Namun suara bel rumahku kemudian mengagetkan, hampir membuat aku jatuh dari atas sofa itu. Berusaha menyeimbangkan diri, dengan langkah yang masih tak beraturan aku berlari kecil menuju pintu depan seraya menguncir rambutku membentuk ekor kuda yang berantakan.
Dibalik daun pintu itu berdiri seorang laki-laki yang nampak seusia denganku. Pakaiannya casual, wajahnya asing, namun senyum di wajahnya nampak begitu bersahabat. Aku tak mampu untuk tidak membalas senyum tulusnya itu.
“Hmm, cari siapa ya?” tanyaku hati-hati. Aku memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meyakini diriku sendiri apakah sebelumnya aku pernah melihat orang yang ada di hadapanku kini.
“Kenalin, nama gue Reno” laki-laki itu mengulurkan tangannya ke arahku, senyum bersahabatnya kembali terukir di wajahnya. Kilau matanya tetap kelihatan bercahaya meski terhalang kaca mata yang ia kenakan.
“Ki.. Kia..ra” Jawabku terbata-bata sambil menyambut tangannya – genggaman erat tangannya membuyarkan fikiranku yang masih linglung.
“Gue udah tau nama lo kok, gue Reno yang tinggal di seberang rumah lo”
Mataku membelalak. Tetanggaku? Aku hampir tak pernah memperhatikan keadaan lingkunganku. Selama ini aku memang terlalu sibuk menghabiskan waktu dengan duniaku sendiri. Bahkan aku baru menyadari kalau ternyata aku punya tetangga seramah Reno.
“Baru bangun tidur ya, Ra?” Lagi-lagi ia berkata sambil tersenyum – kurasa laki-laki dihadapanku ini tak bisa bicara tanpa diiringi dengan senyuman.
Aku dapat merasakan pipiku merona. Apakah keadaanku sebegitu buruknya hingga ia tahu aku baru saja bangun tidur. Aku merapihkan baju dan rambutku dengan sikap gugup.
Kali ini Reno tertawa ringan melihat tingkahku “Boleh duduk?” Ia melirik ke arah bangku yang ada di teras rumahku.
Masih dengan wajah bingung, aku kemudian mempersilahkan ia duduk.

Sore itu berlangsung cukup panjang, ternyata Reno adalah benar tetanggaku yang tinggal di seberang rumah. Rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri untuk sikapku yang kelewat tidak acuh pada keadaan sekitar. Reno yang sudah lebih dari enam bulan ini menjadi tetanggaku saja tak pernah aku sadari keberadaannya. Padahal ia saja sudah mengetahui namaku sebelum aku memberitahukannya. Bahkan, yang lebih lucu lagi, ternyata kami ini satu sekolah. Aku tersenyum dalam hati – menertawakan diriku sendiri.
Reno orang yang sangat bersahabat, mudah saja menjadi akrab dengannya dalam waktu yang relatif singkat. Aku bahkan hampir melupakan kesedihan yang menyelimutiku semalaman hingga sepanjang siang tadi.
“Jadi, dari tadi ngobrol-ngobrol, lo belum bilang kenapa tiba-tiba sore ini lo main ke rumah gue”
Reno menepuk keningnya ringan seperti baru saja menyadari sesuatu. Tangannya menggapai-gapai ke bawah kursi, mengambi bungkusan yang sejak tadi ia sembunyikan di bawah sana. Aku tak begitu memperdulikan sebelumnya apa yang ia bawa, hingga kemudian ia menyodorkan bungkusan itu kepadaku. “Selamat ulang tahun, Kiara!” ucapnya riang, lagi-lagi dengan senyuman yang begitu bersahabat.
Alisku bertaut, bolak-balik memperhatikan antara wajahnya yang sumringah dengan bungkusan yang berada di genggamannya. Masih tak yakin apa yang baru saja aku dengar keluar dari mulutnya, darimana ia tahu ini hari ulang tahunku?
“Gue lihat di facebook hari ini lo ulang tahun” jawabnya seperti mampu membaca fikiranku.
Apa?! Bahkan ia sudah tahu akun facebook milikku? Diam-diam aku mencubit lenganku sendiri, mencoba memastikan apakah ini akibat aku tidur terlalu lama di ruang tengah hingga aku mimpi yang ngelantur seperti ini. “Auw!” suaraku tertahan, malu menyadari bahwa sepertinya ini bukan mimpi, karena cubitan di tanganku tadi terasa sakit.
“Kok bengong terus sih Ra dari tadi?” lagi-lagi Reno mendapatiku melamun.
“Lo udah terlalu banyak tahu tentang gue deh, curang. Padahal gue kan baru kenal sama lo hari ini” gerutuku.
Reno hanya tersenyum ringan. “Lo aja yang ngga pernah memperhatikan keadaan sekitar lo. Setiap pulang sekolah, langsung pulang. Kalau sore di rumah, cuma kelihatan waktu lo nyiramin tanaman aja. Gue penasaran kok lo bisa sih tinggal terkurung dalam rumah kayak gitu” suaranya riang.
Aku tersenyum, kali ini mungkin pipiku bersemu merah jambu mendengar ceritanya tentang diriku.
“Gue juga sebulan terakhir ini harus setiap hari ada di rumah, jadi gue bisa ngerasain gimana rasanya jadi lo, dan ternyata ngga enak. Bosen” cengirnya lagi.
“Memangnya ada apa sebulan terakhir ini?” tanyaku ingin tahu.
“Gue lagi dihukum. Gara-gara ketahuan cabut sekolah. Kepergok bokap gue pas lagi nongkrong-nongkrong di pinggir jalan” kenangnya sambil tertawa lagi.
“Untungnya hari ini hukuman gue selesai, jadi gue bisa dateng kesini deh untuk ngasih ini ke lo” sambungnya lagi. Matanya tertuju pada bungkusan yang masih ada di genggamannya sejak tadi. “Buka dong” ia menyodorkan bungkusan itu lebih dekat lagi ke arahku.
Sebuah kotak yang tidak terlalu besar kini sudah ada di genggamanku. Kotaknya terbuat dari bahan karton, sepertinya hasil buatan tangan sendiri. Aku membukanya perlahan. Dua ekor merpati berwujud kayu yang terukir manis bertengger dalam kotak itu. Aku tersenyum melihatnya kemudian memperhatikan wajah Reno yang sepertinya sejak tadi menunggu ekspresiku setelah membuka kado darinya.
“Bagus banget No, thanks ya!” ucapku riang. Rona kesedihan sepertinya sudah benar-benar pudar dari diriku semenjak kedatangan Reno, terlebih lagi saat aku mendapatkan kado darinya – setelah tujuh tahun terakhir ini aku tak pernah lagi mendapatkan bingkisan di hari ulang tahunku. Aku masih terus tersenyum senang sambil memperhatikan lekukan detail kayu yang membentuk rupa burung merpati itu. Ukirannya begitu indah, dan begitu alami.
“Lo suka? Gue buat itu khusus untuk lo Ra..”
Aku mengamati wajahnya mencoba menerka apakah ia hanya bergurau dan ingin membuatku besar kepala saja, namun tampaknya wajahnya kali ini serius – berbeda dari sebelumnya.
“Merpati itu lambang keabadian. Gue harap kita bisa deket terus seperti dua merpati itu” senyumnya kali ini berbeda, tampak lebih tulus dari dalam hatinya.
“Reno, lo kenapa sih? Kita kan baru aja kenal, walaupun lo udah kenal gue lebih dulu sebelumnya, tapi kenapa tiba-tiba omongan lo jadi ngaco gini? Gue jadi takut” aku pura-pura bergidik.
Tawanya pecah dihadapanku.
Keningku berkerut, masih tidak mengerti mengapa tiba-tiba laki-laki dihadapanku ini datang di hari ulang tahunku, memberikanku perhatian layaknya sahabat lama, dan sikapnya yang begitu hangat, membuatku begitu nyaman berada di dekatnya.

“Gue percaya sama yang namanya firasat, Ra. Waktu pertama kali gue pindah kesini dan ngelihat lo, gue rasa kita bakal jadi partner yang cocok. Ternyata firasat gue selama ini ngga berlebihan, toh terbukti dalam waktu singkat aja kita bisa ngobrol banyak kan?” senyumnya kali ini lebih ceria dari sebelumnya.
Aku diam sejenak, tersenyum dalam hati. Mengingat doa yang kupanjatkan sesaat sebelum menikmati kue ulang tahun buatanku.
“Kalau menurut lo ini namanya firasat, buat gue ini keajaiban” ucapku tak kalah riang.
Alis Reno bertaut. “Keajaiban apa?”
“Nanti gue ceritain” janjiku. Aku bergegas kembali ke dalam rumah, mengambil kue ulang tahun yang masih rapih berada di atas meja di ruang TV. dengan senyum pasti aku membawanya ke teras rumahku, tempat dimana Reno – sahabatku  sedang menunggu disana. Aku tersenyum lagi menyadari istilah yang kugunakan untuk menyebut Reno.

“Kelihatannya.. ngga enak” Reno menahan tawanya melihat kue yang ada di genggamanku.
Aku melipat wajah, pura-pura ingin kembali ke dalam rumah untuk mengembalikan kue itu kesana. Tak kusangka, Reno menarik lenganku lembut “Bercanda, Kiara..” senyum tulusnya melelehkan hatiku.
Aku menahan senyum.
Setelah memakan kue buatanku, dengan jahil ia melumuri sebagian besar wajahku dengan cream kue. Setelah itu, kami jadi perang saling serang dengan cream kue yang tersisa. Kami berkejaran di halaman rumah sambil tertawa-tawa lepas – nampak seperti dua orang bocah kecil yang baru pertama kali merayakan hari ulang tahun. Aku tak perduli jika ada tetangga lain yang melihat betapa kekanakannya kami, hari ini saja, aku begitu nyaman bersikap kekanakan seperti ini.
“Selamat ulang tahun, Kiara!” ujarku dalam hati, namun kali ini dengan intonasi yang berbeda – jauh lebih riang dibandingkan suasana hatiku siang tadi.

Mulai sekarang, aku meyakini hatiku bahwa aku takkan pernah merasa sendirian lagi, hari-hariku di sekolah, sore hari yang biasanya terasa amat panjang akan dapat dengan mudah aku lewati jika bersama Reno.
Sejak hari itu, hampir setiap hari kami berangkat sekolah bersama. Sore harinya, kami mengerjakan PR dan bermain sepeda berkeliling komplek sesekali.
Reno benar-benar seperti jawaban dari kesendirianku selama ini. Reno, adalah kado terindah yang dikirim Tuhan setelah tujuh tahun penantian yang terasa amat panjang ini.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar